Syahadat on the road -
“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai
Musa?. Berkata Musa: ‘Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku
pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain
padanya’.” (Thaha : 17-18)
Adalah
sebuah keniscayaan bahwa manusia sangat memerlukan komunikasi. Andai semua
frekuensi suara ini secara otomatis terdengar semua telinga kita, maka kita
akan mendengar berbagai komunikasi setiap saat. Bermutu ataupun tidak
komunikasi telah menjadi kebutuhan dasar seorang manusia dalam beriteraksi
dengan sesama. Dengan komunikasi kita dapat mengekspresikan apapun yang menjadi
gagasan dalam otak.
Teringat
sebuah kejadian yang barangkali kita semua pernah menyaksikan. Bagaimana
seseorang memberikan “ekspresi lebih” ketika seseorang itu sedang bahagia. Anak
kecil yang di beri permen kesukaannya ketika ditanya “Gimana kabarmu??”,
mungkin akan menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan sebab rasa gembiranya
mendapat permen kesukaan sebelum ditanya. Begitu juga ketika seseorang tengah
mendapat pengumuman diterimanya ia di sebuah lapangan pekerjaan, sangking
riangnya mungkin ketika orang hanya bertanya “Ada apa dengan dirimu, sepertinya
bahagia sekali?” maka orang tersebut tak hanya menjawab pertanyaan itu, tapi
juga mengajaknya makan.
Atau
bahkan ketika ia disapa oleh orang yang mempunyai jabatan di atas dirinya.
Dengan sapaan yang baik si atasan menyapa orang tersebut, mungkin sangking
riangnya kita pun akan bereaksi lebih atas semua yang ditanya oleh atasan tentang
diri kita. Dan kejadian ini mungkin juga telah terjadi pada diri kita saat kita
berada pada kondisi seperti itu.
Salah
seorang salafus Shaleh pernah berujar “Jangan
memutuskan sebuah perkara ketika kita sedang dalam keadaan marah, dan jangan
mudah memberi Janji ketika kita dalam keadaan bahagia dan bersuka cita”.
Ini sebenarnya adab dan nasehat untuk senantiasa menguasai diri dari setiap
kejadian. Kita diharapkan tenang dan tidak cepat-cepat mengambil keputusan dan
memberikan harapan. Tapi, kita tak membahas tentang hal ini. Perkataan shalafus
Shaleh tadi cukup menjadi tadzkiroh bagi diri kita dalam bersikap.
Sekarang
yang kita coba bahas adalah tadabbur dari surat Thaha ayat 17-18 di atas. Dari
dua ayat di atas tersebut kita menjumpai bagaimana kegembiraan Nabi Musa a.s.
tatkala Allah SWT sebagai Rabbul Alamin
menyapa dirinya. Bagaimana tidak Dzat Yang Mahakuasa menyapa dan memilih
seorang hamba untuk menjadi kepercayaannya. Sapaan itu diabadikan oleh Allah
Swt di surat yang sama dari ayat 10-16.
Ketika ia melihat
api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini),
sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit
daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu".
Maka ketika ia
datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa.
Sesungguhnya Aku
inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada
di lembah yang suci, Thuwa.
Dan Aku telah
memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).
Sesungguhnya Aku
ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah salat untuk mengingat Aku.
Sesungguhnya hari
kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri
itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.
Maka sekali-kali
janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya
dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi
binasa". (Surat Thaha ayat 10-16.)
Setelah menyapa dan memberikan
statment kelebihan Musa a.s. yang dijadikan sebagai orang terpilihNya, Allah
swt bertanya kepada nabi Musa tentang apa yang ada di tangan kanannya. Kalaulah
Nabi Musa a.s., berada pada kondisi takut dan tertekan, mungkin ia akan
menjawab dengan jawaban seadanya. Misal “Ada tongkat ya Tuhanku”. Tapi Nabi
Musa kala itu sangat riang, layaknya contoh yang telah di utarakan di atas.
Nabi Musa a.s. justru menjawab lebih dari yang ditanya sebagai ekspresi
keriangannya, “Berkata
Musa: ‘Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun)
dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Tiga jawaban lain yang diberikan oleh Nabi Musa a.s.
untuk menjawab satu pertanyaan Allah swt. Sungguh ekspresi riang yang luar
biasa dari seorang Nabi Allah tersebut.
Tapi,
sejenak kita pikirkan. Apakah maksud Allah bertanya kepada Nabi Musa tentang
sesuatu yang ada di tangan kanannya?. Sedangkan Allah Mahatahu atas segala
sesuatu hatta sekecil-kecilnya yang ada di alam semesta ini. Ikhwati, Hal ini membuktikan bahwa Allah
swt suka memperhatikan seorang hambaNya. Allah sedang memberikan perhatian
kepada Nabi Musa a.s.. Dari sini kita petik hikmah bahwa, hatta sampai seorang Nabi sekaliber Nabi Musa a.s. itu membutuhkan
perhatian. Ya sebuah perhatian. Yakni rasa simpati yang kita curahkan kepada
orang lain untuk mengokohkan jalinan kasih sayang.
Memberikan
perhatian ini penting sekali bagi keberlangsungan kehidupan Sosial kita. Dan
ini merupakan kebutuhan fitrah semua manusia. Ketika Nabi Musa, lari dari Istana
karena telah membunuh orang, Allah memberinya perhatian. Ketika Nabi Adam
sendiri, Allah memberikan perhatian dengan memberikannya pendamping, yakni
Hawa. Ketika Nabi Muhammad saw mendapat wahyu pertama kali di gua Hira, Allah
pun memberikan perhatian lewat Khadijah r.a. Masya Allah, masalah perhatian ini
merupakan hal yang penting. Sangkin pentingnya, hal ini juga yang sering
menjadi masalah di setiap rangkaian ukhuwah kita. Ketika kita tak lagi
memberikan perhatian bagi saudara-saudara perjuangan kita, tetangga kita,
bahkan keluarga kita. Maka rusaklah ukhuwah itu perlahan-lahan.
Saudaraku,
yang perlu diingat adalah adab dalam masalah ini. Yakni seyogyanya kita
menganggap perhatian yang ditujukan kepada diri kita bukanah suatu Hak kita.
Sehingga kita tidak boleh meminta atau menuntutnya. Sedangkan seyogyanya sikap
perhatian kita kepada orang lain, kita anggap sebagai kewajiban. Sehingga kita
serta merta melakukannya dengan keikhlasan dan keridhoan. Maka jadilah orang
yang pertama kali memberikan perhatian bagi orang lain di sekitar dan di
sekeliling kita.
Sunguh mengesankan zaman Era Kerasulan Muhammad saw, ketika memberikan
perhatian kepada orang lain itu lebih diutamakan dibanding meminta perhatian
dari orang lain. Nabi Muhammad saw dan para sahabat saling memberikan perhatian
bagi masalah keadaan fisik (kesehatan) saudaranya, mereka memberikan perhatian
pada keadaan keimanan saudaranya, mereka memberikan perhatian pada keadaan
perekonomian saudaranya, mereka memberikan perhatian pada keadaan Agama yang
diperjuangkannya. Sehingga mereka meraih gelar “Kuntum Khoiru Ummah..”(Ali Imran:110).