oleh: Muh. Nurfadli
Syahadat on the road - Perbedaan akan selama nya ada. Bahkan dalam persamaan sekalipun. Seorang yang kembar identik pun hakikatnya adalah berbeda. Seseorang yang dalam satu aktifitas pun akan mengalami perbedaan. Hal ini lumrah terjadi pada kehidupan di dunia. Sejatinya perbedaan ini telah disinyalir oleh Allah dalam firmannya, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Hujurat : 13). Terciptanya laki-laki dan perempuan itu sebuah perbedaan. Begitu juga dengan adanya suku-suku dan bangsa-bangsa sendiri merupakan perbedaan yang harus kita terima. Hal ini adalah fitrah hidup dari Sang Maha Suci, Allah SWT.
Syahadat on the road - Perbedaan akan selama nya ada. Bahkan dalam persamaan sekalipun. Seorang yang kembar identik pun hakikatnya adalah berbeda. Seseorang yang dalam satu aktifitas pun akan mengalami perbedaan. Hal ini lumrah terjadi pada kehidupan di dunia. Sejatinya perbedaan ini telah disinyalir oleh Allah dalam firmannya, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Hujurat : 13). Terciptanya laki-laki dan perempuan itu sebuah perbedaan. Begitu juga dengan adanya suku-suku dan bangsa-bangsa sendiri merupakan perbedaan yang harus kita terima. Hal ini adalah fitrah hidup dari Sang Maha Suci, Allah SWT.
Namun yang menjadi perhatian
adalah, perbedaan tersebut merupakan perbedaan yang bersifat alami. Perbedaan
yang secara alami terbentuk untuk memberikan warna dalam kehidupan. Yang
dengannya kita saling belajar dan mengenal. Perbedaan yang diusung merupakan
perbedaan yang menuju pada sebuah persatuan. Yakni persatuan dalam ikatan
taqwa. Sesuai ayat di atas.
Terjadinya berbagai masalah
adalah ketika perbedaan sengaja ditimbulkan pada sebuah sesuatu yang sejatinya
utuh dan padu. Sikap seperti ini menunjukkan sikap arogansi yang berlebihan
terhadap sesuatu, atau bisa disebut dengan kesombongan. Ia meyakinkan dirinya
bahwa ia mempunyai sesuatu yang baru dan lebih baik dari sesuatu yang telah
padu tadi. Dan secara eksplisit maupun implisit ia menyatakan sesuatu tadi
dalam bentuk yang beda. Inilah masalah sesungguhnya.
Dalam hal ini, kita menyaksikan
banyak sekali perbedaan yang ditimbulkan secara sengaja dalam memaknai Agama
Islam. Budhy Munawar-Rachman (seorang tokoh pluralis) menyebutkan “Islam
Pluralis”, Harun Nasution menyebutkan “Islam Rasional” juga “Islam Progresif”, Ulil Abshar Abdala
menginisiasi “Islam Liberal”. Berbagai penamaan tadi merupakan bentuk upaya
pembedaan dalam sebuah hal yang padu yakni “ISLAM” itu sendiri. Mereka
melupakan bahwa Islam datang dengan kesempurnaan dan mengakhiri risalahnya
dengan keridhoan dan kesempurnaan. Dalam Al-Qur’an, Allah telah menyatakan
dengan tegas bahwa:
“...pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu..” (Al-Maidah :3)
Maka apakah pantas penamaan Islam
itu sendiri ditambah-tambahkan, sehingga muncul makna baru yang terasa lebih
sempurna? Apakah kata Islam itu sendiri dengan segala macam syariat di dalamnya
belum sempurna?
Sebuah pertanyaan besar adalah;
apakah Budhy Munawar-Rachman tidak berfikir bahwa Islam sudah merangkum semua
nilai-nilai pluralitas tanpa perlu memakai nama “Islam Pluralis”. Sesuai apa
yang telah kita dapat pada QS. Al-Baqarah:256 tentang tidak adanya paksaan
dalam beragama, QS. Al-Ankabut:46 tentang berdebat dengan Ahlul Kitab, serta
QS. A-Kafirun tentang keberagamaan. Apakah Budhy tidak membaca ayat-ayat
tersebut?. Islam juga sudah Rasional dan Progresif tanpa harus Harun Nasution
menambahkan kata-kata Islam menjadi “Islam Rasional” dan “Islam Progresif”. QS.
Al-Ikhlash:1-4 telah menerangkan secara rasional akan keesaan tuhan, dan
berbagai ayat tentang ilmu pengetahuan juga membuktikan Islam sangat rasional
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. QS. Ar-Ra’du:11 tentang kewajiban
berusaha sebenarnya sudah cukup untuk mematahkan klaim “Islam Progresif”,
karena bila mengamalkan isi ayat tersebut tentulah kita akan mengalami
progressifitas yang tinggi dalam kehidupan di dunia. Maka islam sudah progresif
dari awalnya tanpa memerlukan bentuk kata “Islam Progresif”.
Istilah terakhir yang sangat
membingungkan adalah istilah “Islam Liberal”. Dua kata tersebut merupakan
sepasang kata yang bertolak belakang. Islam itu pasrah, tunduk, dalam ketentuan
Allah. Sedangkan Liberal itu bermakna bebas, membebaskan diri dari bentuk
perintah dan intervensi. Memakai kata-kata Liberal akan membuat berantakan
makna kata Islam itu sendiri. Membebaskan diri dari kepasrahan untuk tunduk
pada aturan dan ketentuan Allah merupakan definisi yang telah keluar dari
bingkai Islam. Maka sangat tepat bila menganalogikan antara ISLAM dan “Islam
Liberal” sebagai Orang dan Orang Utan. Keuduanya berbeda, dan mempunyai
karakteristik sendiri-sendiri. Padahal Islam sendiri sudah membebaskan manusia
untuk bertindak sesuai keinginannya dengan resiko konsekuensi yang akan
diterima oleh pelakunya.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syams:8-10)
Dengan demikian, upaya
penamaan-penamaan yang bersanding pada kata Islam (menurut pelakunya) merupakan
upaya untuk menyempurnakan Islam. Tindakan bodoh ini adalah tindakan arogansi
dan kesombongan para pelakunya. Tidaklah mereka melakukan ini karena disebabkan
kurangnya ilmu mereka (atau telah menyimpang dari jalurnya) atau karena
mindernya mereka dengan kondisi individu dalam menjalankan Agama Islam ini atau
disebabkan oleh kebenciannya terhadap agama Islam. Tindakan ini sebenarnya
bertujuan untuk mengaburkan makna Islam yang sejati, dan menjadikan kesan bahwa
Islam pada masa silam tidaklah mampu menjawab tantangan hari ini. Sebagai
pemeluk agama Islam dan mengaku umat Rasulullah SAW, kita wajib mewaspadai
kejadian-kejadian macam ini. Kita wajib berpegang pada tolak ukur yang hakiki.
Yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Selasa, 25 Desember 2012