Nama Anick Hamim Tohari atau akrab
disapa Anick HT mungkin masih terasa asing bagi sebagian kalangan. Namun
sejatinya, laki-laki yang lahir di Pecangan Wetan ini adalah tokoh
penting dibalik dinamika liberalisasi di JIL pada khususnya, maupun di
Indonesia pada umumnya.
Anick HT memiliki track-record panjang
dalam aktifitas liberalisasi Islam. Hal itu sudah dimulai saat ia aktif
di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) semasa kuliah di IAIN Jakarta.
Anick HT sendiri melangkahkan kaki di IAIN Jakarta pertama kali pada
tahun 1994. Ia tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sastra Arab yang
bernaung di Fakultas Adab.
Selain aktif di JIL, Anick juga menjabat Direktur Eksekutif Indonesian Conference Religion and Pluralisme (ICRP) sejak tahun 2008. ICRP adalah sebuah LSM berbentuk yayasan yang bergerak di bidang interfaith dialogue dan dialog antar agama.
Seperti
dilansir di situsnya, visi ICRP adalah mewujudkan masyarakat Indonesia
yang damai, berkeadilan, setara, persaudaraan dalam pluralisme agama dan
kepercayaan, dan penghormatan kepada martabat manusia. [1]
Anick juga tercatat menjadi kontributor tulisan untuk beberapa buku. Salah satunya ia menjadi editor pada buku “Biografi 70 tahun Djohan Effendi” yang
ditulis Ahmad Gaus AF . [2] Djohan Effendi selama ini terkenal sebagai
founding father Islam Liberal di Indonesia, yang ditulis Ahmad Gaus AF.
Selain itu, Anick juga menyumbang tulisan dalam buku “All Need is Love; Cak Nur di Mata Anak Muda”
yang diluncurkan pada malam “Nurcholish Madjid Memorial Lecture”,
Universitas Paramadina, 23 Oktober 2008. Di situ tergambar bagaimana
kekaguman Anick terhadap Caknur. Berikut tulis Anick:
“Dan
saya tahu persis, ada ribuan bahkan jutaan kyai dan ustadz sejenis Abu
Hanifah yang menebar hujatan dan penghakiman sepihak terhadap ide-ide
pembaruan ala Cak Nur. Ada ilustrasi yang populer di kalangan
kawan-kawan Ciputat untuk menggambarkan ini: Ide Cak Nur berkembang
dalam deret hitung, sementara ide anti-Cak Nur berkembang dalam deret
ukur.
“Dan kelipatan deret ukur itupun berkembang, dari
per puluhan, per ratusan, sampai per ribuan. Artinya, saat para pengecer
ide Cak Nur mampu meyakinkan 7 orang, para penghujat Cak Nur sudah
memvirusi 7.000 orang.” [3]
Baru-baru ini, dalam tulisannya
yang berjudul “Agama Ahmadiyah” di Tempointeraktif.com tanggal 13
Februari 2011, Anick mengatakan bahwa perbedaan prinsipil antara
Ahmadiyah dan Islam tidak ada kecuali hanya klaim kenabian. Menariknya
seperti menyampingkan fakta yang ada, Anick hanya melihat bahwa
Ahmadiyah menjadikan Mirza Ghulan Ahmad sebagai Imam Mahdi bukan nabi.
“Tampaknya
kita perlu melihat kembali bahwa satu-satunya perbedaan prinsipil
antara Ahmadiyah dan Islam lainnya adalah keyakinan bahwa ada nabi
setelah Nabi Muhammad SAW, yang adalah Imam Mahdi yang dijanjikan.
“Sementara
dalam pandangan kaum Asy’ari umumnya Imam Mahdi yang dijanjikan adalah
Nabi Isa AS (yang juga nabi), yang akan turun pada akhir zaman nanti,
dalam pandangan Ahmadiyah, Imam Mahdi yang dijanjikan adalah Mirza
Ghulam Ahmad, sambil perlu digarisbawahi bahwa Ahmadiyah juga meyakini
bahwa saat inilah akhir zaman itu. Di luar perbedaan itu, tidak ada
perbedaan prinsipil lainnya.” [4]
Padahal kita ketahui bersama bahwa dasar Ahmadiyah menjadikan Mirza sebagai Nabi baru bersamaan dengan klaim bahwa hadis lâ nabiyya ba’di (tidak
ada nabi setelahku) sebagai hadis lemah menurut penilaian Imam
Tirmidzi. Padahal jika diteliti lebih jauh dan dibaca menyeluruh akan
kita dapatkan bahwa Imam Tirmidzi menyimpulkan hadis tersebut sebagai
kategori hasan (bagus).
Selain itu kita ketahui bahwa ada
perbedaan prinsip lainnya. Salah satunya klaim Ahmadiyah yang
menjanjikan jalan pintas ke surga dengan menyediakan “kuburan surga”
yang kemudian diberi nama “Bahisti Maqbarah” atau taman ahli surga.
Bahisti Maqbarah sendiriterletak di Qadian India dan Rabwah Pakistan.
Novriantoni Kahar
Novriantoni
Kahar juga merupakan nama penting dalam kiprah JIL selama ini. Karir
pendidikan pesanternnya ditamatkan dari Pondok Modern Gontor tahun 1996
dan meneruskan kuliahnya di Universitas Al Azhar hingga tahun 2001.
Selanjutnya, Novriantoni mengambil jenjang Magister Sosiologi di
Universitas Indonesia.
Sekalipun sempat mengenyam pendidikan di
dua institusi Islam yang kuat perlawanannya terhadap liberalisasi, tidak
membuat Novriantoni ikutan menghalau penyebaran liberalisme Islam. Saat aktif di JIL, Novriantoni lah yang menerjemahkan sebuah buku kontroversial berjudul “Kritik Atas Jilbab” karangan Muhammad Sa’id Al Asymawi. [5]
Di
dalam buku yang pernah dijadikan rujukan Nong Darol Mahmada dalam
mengkritik jilbab itu, Asymawi “menfatwakan” bahwasanya pemakaian jilbab
bagi muslimah tidaklah menjadi kewajiban. Asymawi berpendapat bahwa
Jilbab bukanlah bagian dari perkara hukum agama dengan melakukan
penyesatan opini dalam konteks asbabun Nuzul surat Annur ayat 31.
Asymawi
menilai turunnya surat AnNur ayat 31 hanya untuk memberikan pembedaan
antara perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk
menjadi format abadi sebagai konsekuensi formil dalam hukum berjilbab.
Ayat
jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud
membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab,
maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak.
Selain
itu, Novriantoni juga pernah mengkritik Sistem Khilafah Islamiyah pada
acara Today’s Dialogue Metro TV, Selasa 30 September 2008 yang bertema Khilafah VS Demokrasi. Novriantoni
menilai bahwa jika Indonesia menerapkan sistem khilafah maka akan
terjadi kemunduran dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Sebab
sistem khilafah hampir mirip dengan sistem kerajaan cuma berbeda
caranya. Jika kerajaan berdasarkan sistem kekeluargaan, khilafah
ditunjuk oleh pemimpin terdahulunya tapi berdasarkan kualitas seseorang.
Padahal
kita ketahui sendiri, sistem Khilafah tidak saja menjadi fakta historis
dalam peradaban Islam, bahkan memang sebuah keniscayaan di akhir zaman
nanti. Selain itu tuduhan bahwa Khilafah adalah bagian dari sistem
kerajaan tidak bisa serta merta merujuk pada era Khilafah pasca
al-khulafaa’ al-rasyidun, namun Khilafah memang ajaran Nabi Muhammad SAW
jauh sebelum berdirinya daulah Ummayah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah yang
tampil dalam format kerajaan.
Tampaknya banyak hal dan (menjadi) antithesis dalam tulisan-tulisan Novriantoni selama ini. Misalnya dalam tulisannya Runtuhnya Jumlukiyyah Arabiyyah [6]
yang dimuat koran Tempo Tanggal 07 Februari 2011. Novriantoni
mempertanyakan kasus revolusi Timur Tengah yang apinya bermula di
Tunisia namun mengapa tidak ikut menjalar pada Negara Monarkhi seperti
Saudi dan Kuwait dan Negara setengah republik (tapi menjurus ke
Monarkhi) seperti Suriah.
Tapi anehnya, sekalipun Novriantoni
mengkritisi otoritarianisme monarkhi Arab, tapi ia juga tidak melihat
bahwa bentuk Monarkhi seperti di Denmark, Inggris, Skotlandia, juga tak
ubahnya otoritarianisme. Apakah karena Kahar sangat pro Barat?
Allahua’lam. Belakangan ini, Novriantoni tercatat sebagai dosen
Universitas Paramadina dan tinggal di Exeter, Inggris.
Burhanuddin Muhtadi
Sejak
dihelatnya Pemilu 2009 lalu, nama Burhanuddin Muhtadi kerap muncul di
berbagai media baik cetak, online, ataupun elektronik. Analisisnya yang
tajam dan pemikirannya yang cerdas membuat pria kelahiran Rembang 15
Desember 1977 ini kerap muncul menjadi narasumber berbagai media massa.
Terkesan akhirnya Burhanuddin lebih dikenal sebagai pengamat politik
daripada pemikir liberal.
Namun pada dasarnya, nama Burhanuddin
di Jaringan Islam Liberal adalah sebuah sejarah tersendiri. Saat masih
kuliah, mantan ketua BEM IAIN tahun 2001-2002 mulai mengenal pemikiran
liberal ketika aktif di Formaci.
Dalam sebuah tulisannya kala
itu, Burhanuddin menilai bahwa Al Qur’an tidak bisa ditafsirkan hanya
dalam semangat ekslusifisme. Bahwa Alquran adalah sebuah teks yang kaya
akan simbol dan metafor, dan karenanya menjadi multiinterpretasi.
“Tugas
kita adalah bagaimana menghadirkan Alquran yang inklusif dan menghargai
pluralisme dan demokrasi. Caranya adalah dengan mengangkat ayat-ayat
yang diabaikan atau disembunyikan oleh para penguasa atas dukungan para
ulama-kolaborator.” [7]
Sedangkan dalam tulisan “Privatisasi Kebenaran”,
layaknya pemikir liberal lainnya, Burhanuddin mengkritik pola klaim
kebenaran dalam memaknai Islam. Burhanuddin menilai pola klaim kebenaran
yang dikembangakan dalam menafsrikan Islam cenderung menyesatkan.
“Privatisasi
kebenaran mewujud dalam klaim-klaim kebenaran dan klaim keselamatan.
Bahwa kelompok, agama, kepercayaan yang dianut di luar mereka adalah
sesat dan menyesatkan, dan karenanya, harus diluruskan karena kamilah
yang paling punya otoritas menafsirkan Tuhan. Potensi ini makin
bertambah dengan adanya fakta bahwa abrahamic religions, kecuali Yahudi,
punya doktrin propagandis dan misionaris” [8]
Dengan
mengutip, Karen Amstrong, Burhanuddin menilai bahwa bilamana privatisasi
kebenaran berubah menjadi sumbu bakar destruktif? Jika ia diorganisasi
dengan semangat militansi yang menyala-nyala, maka privatisasi kebenaran
itu menjadi benih fundamentalisme.
Spesifikasi Burhanuddin
terhadap kajian politik, membuatnya mengenal bagaimana alur pemikiran
partai politik Islam di Indonesia. PKS bisa dikatakan adalah salah satu
“spesifikasi” Burhanuddin selama ini. Karena itu tak aneh, ketika kasus
Yusuf Supendi mencuat, Burhanuddin lah yang diundang oleh salah satu
televisi swasta untuk berbicara tentang pola PKS.
Menariknya,
penjelasan Burhanuddin tentang PKS bahkan jauh mendalam dibanding kader
PKS sendiri. Ini adalah hasil dari “kegigihannya” meneliti PKS sejak
duduk di bangku magister di Australian National University (ANU).
Selain itu, artikel Burhanuddin yang berjudul “Beyond the Nation-State: The Quest for Hizbut Tahrir Indonesia” pun dimuat salah satu jurnal bergengsi untuk kajian Asia, yakni the Asian Journal of Social Science terbitan
the National University of Singapore (NUS) dan Brill edisi 36: 5
(2008). Bisa dikatakan, Burhanuddin adalah pakar politik yang cerdas
dalam bingkai “keindonesiaan”, lantas merinci relasi Islam dan Politik
pada berbagai gerakan tertentu.
Oleh karena itu wajar, saat di ANU, Burhanuddin memperoleh “A Grade Point Average Above Distinction Award” untuk kategori nilai coursework terbaik dan dinobatkan sebagai One of the Top Performing Students in One of the Top Ranking Universities in the World. Ini penghargaan buat mahasiswapostgraduate yang mendapat nilai kuliah terbaik.
Kini,
Burnahuddin aktif di Lembaga Survey Indonesia (LSI). Sebuah lembaga
penelitian yang aktif dalam mengkampanyekan demokrasi dan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. LSI sendiri turut digawangi oleh Profesor William
Liddle, seorang Yahudi Liberal dari Ohio University, Amerika Serikat.
Catatan Kaki
[1] http://v2.icrp-online.org/
[2] Ahmad Gaus AF, Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi, (Jakarta: ICRP dan Kompas, 2009)
[3]
Ihsan Ali Fauzi dan Ade Armando (ed.), All Need is Love; Cak Nur di
Mata Anak Muda”, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2008). Perkataan
ini diambil dari tulisan Anick yang berjudul “Cak Nur Tidak Mampir ke
Jepara”
[4] Anick HT, Agama Ahmadiyah, Tempointeraktif.com, 13 Februari 2011.
[5] Muhammad Sa’id Al Asymawi, Kritik Atas Jilbab, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, 2003)
[6]
Jumlukiyyah Arabiyah adalah tesis dari Saad Eddin Ibrahim, sosiolog
Mesir dengan mengacu pada model Republik-Monarkhis Arab. Kata
jumlukiyyah merupakan perpaduan antara kata jumhuriyyah (republik)
dengan mamlakiyyah (monarkhi). Istilah ini diperkenalkan Ibrahim tatkala
Hafez Assad—mendiang presiden Suriah—meningal dunia 10 Juni 2000. Saat
itu muncul isu yang lalu terwujud bahwa ia akan mewariskan kekuasaan
kepada anaknya, Presiden Suriah saat ini, Bashar Assad. Lebih jauh
lihat, Novriantoni Kahar. Runtuhnya Jumlukiyyah Arabiyyah, koran Tempo
Tanggal 07 Februari 2011.
[7] Burhanuddin, Membangun Pluralitas Qur’an, Jawa Pos 22 Juli 2001.
[8] Burhanuddin, Privatisasi Kebenaran, Jawa Pos, 19 Mei 2002