oleh: Muh. Nurfadli
Syahadat on the road - Setiap kita pasti pernah berdialog dengan diri kita sendiri. Mungkin terjadi saat kita dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit. Atau barangkali ketika kita telah melakukan sebuah tindakan yang itu kita sadari salah. Atau ketika kita duduk terdiam tak melakukan apapun, seringkali kita berdialog dengan diri kita sendiri tentang berbagai hal, tentang segalanya. Kita menempatkan diri kita sebagai penasihat dari diri kita sendiri.
Syahadat on the road - Setiap kita pasti pernah berdialog dengan diri kita sendiri. Mungkin terjadi saat kita dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit. Atau barangkali ketika kita telah melakukan sebuah tindakan yang itu kita sadari salah. Atau ketika kita duduk terdiam tak melakukan apapun, seringkali kita berdialog dengan diri kita sendiri tentang berbagai hal, tentang segalanya. Kita menempatkan diri kita sebagai penasihat dari diri kita sendiri.
Tentang hal ini, ada tiga kondisi
kita menempatkan diri kita sendiri. Pertama, orang yang menjadikan dirinya
tidak berharga.Kedua, orang yang menjadikan dirinya raja. Ketiga, orang yang
membebaskan dirinya sendiri dan menjadikannya teman. Tiap tiap orang memiliki
pertimbangan tersendiri akan kondisi yang dipilihnya, dan tentunya akan
memperoleh konsekuensi yang berbeda pula. Seseorang dapat memilih kondisi bagi
dirinya sendiri dalam waktu yang singkat, maupun ada pula yang memilih sebuah
kondisi dalam waktu yang lama.
Pertama adalah orang yang
menjadikan dirinya tidak berharga. Kondisi ini ketika kita mengkondisikan diri
kita berada pada posisi terendah. Kita
menganggap bahwa diri kita sangat layak disuruh dan diperintah. Disamping kita
juga mengkondisikan diri kita tak layak untuk mengatur sesuatu, tak layak untuk
bertanya, tak layak untuk berbuat. Kondisi ini merupakan kondisi yang
merugikan. Ia tak mampu memberikan harga bagi dirinya sendiri. Sehingga
martabat dan kehormatan tak mampu dibangun. Jadilah ia orang yang terhina. Ia
memposisikan dirinya sebagai sesuruhan yang mau disuruh apa saja, meski disuruh
untuk perbuatan tercela sekalipun. Bila ini terjadi, mari kita simak firman
Allah SWT, “Dan janganlah kamu mentaati
perintah orang-orang yang melewati batas”(Asy-Syuara : 151). Maka apakah
yang didapat pada kondisi ini selain kehinaan?
Kedua adalah orang yang
menjadikan dirinya bak raja. Kondisi ini merupakan kebalikan dari kondisi yang
pertama. Kondisi yang kedua ini seseorang tak mampu menyelisihi nafsu dalam
dirinya. Ia diperdaya oleh akalnya sendiri. Sehingga ia banyak berbuat
semena-mena. Ia akan menjadikan dirinya “paling” dibanding dengan yang lain.
Seseorang yang berada pada kondisi ini sering kali tertipu dengan dirinya. Ia
tertipu dalam membedakan antara ‘panggilan hati’ dengan ‘panggilan nafsu’.
Kerap kali ‘panggilan hati’ ia anggap dan ia yakini sebagai ‘panggilan nafsu’.
Begitu juga sebaliknya, ‘panggilan nafsu’ ia anggap dan ia yakini sebagai
‘panggilan hati’. Jadilah ia sebagai orang yang congkak, sombong, selalu
membanggakan dirinya sendiri, dan bertingkah laku dengan perilaku yang melewati
batas.
Pada hakikatnya orang yang
seperti ini pun tak jauh berbeda pada kondisi
pertama. Ia akan hidup dalam kegelimangan tapi ia terhina. Ia mengangkat
dirinya jauh keatas, namun jatuh seketika. Maka apa yang akan dirasakan olehnya
selain rasa sakit??. Allah menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti ini, kita
akan lebih dekat dengan syaithan. Bahkan sangat memungkinkan diri kita menjadi
teman-teman syaithan. Allah berfirman, “Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al Isra : 27). Alangkah kecewanya bila
kita manjadi teman syaithan. Maka apa yang didapat oleh seseorang pada kondisi
ini selain dari penyesalan?
Ketiga adalah orang yang
membebaskan dirinya, dan ia menjadikannya teman. Pada kondisi ini ia
berdampingan dengan dirinya sendiri. Tak menjadikannya hina maupun tak pula
menjadikkannya raja. Ia mendengar semua panggilan dari dirinya. Namun ia
memeriksanya, adakah ia panggilan hati atau panggilan nafsu. Pada kondisi ini
ia sangat berhati-hati dalam menjalankan sesuatu. Ia memiliki tolak ukur yang
jelas bagi setiap panggilan dari dirinya sendiri. Ukuran itu adalah Al-qur’an
dan sunnah Nabi. Ketika panggilan tersebut menyelisihi Al-Qur’an ia pun
menolaknya. Dalam kondisi ini seseorang berada pada kedewasaan yang hakiki.
Yakni ketika ia berbuat sesuai kehendak Allah lewat petujuk Al-Qur’an dan
sunnah Nabinya. Kondisi pun membuat kita merdeka dari perbudakan hawa nafsu.
Maka apakah yang akan diterima seseorang pada kondisi ini selain dari
kehormatan dan martabat yang baik??