Syahadat on the road - Pasca berdiri pada tanggal 8 maret 2001, Jaringan Islam Liberal (JIL)
mulai disibukkan serangkaian agenda-agenda penting mereka untuk
membumikan garis liberalisasi pemikiran Islam yang sempat booming pada era 1970-an. Tanggal ini pula menjadi saksi untuk pertama kali situs JIL didirikan dengan nama islamlib.com.
Dalam
situs tersebut dijelaskan makna Islam Liberal dalam perspektif JIL
adalah suatu bentuk penafsiran atas Islam dengan landasan: Pertama,
membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Kedua, mengutamakan
semangat religio-etik dan bukan makna literal teks. Ketiga, mempercayai
kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Keempat, memihak pada
minoritas yang tertindas. Kelima meyakini kebebasan beragama. Keenam
memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi serta keagamaan dan politik
(sekularisme).
Pada gilirannya, nama-nama seperti Goenawan
Mohammad, Ahmad Sahal, Ulil Abshar Abdalla, Luthfie Asy-syaukanie, Hamid
Basyaib dan Nong Darol Mahmada bisa disebut sebagai generasi pertama
yang menggawangi lahirnya JIL. Namun jika dikerucutkan kembali,
kemunculan JIL tidak lepas dari tangan Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam
NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) sebagai
trimurti berdirinya JIL yang sempat melontarkan wacana itu ketika
duduk-duduk di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001.
Uniknya,
jika kita berkaca pada nama-nama di atas, tak sedikit pengalaman mereka
dipenuhi oleh deretan riwayat pendidikan pesantren dan perguruan tinggi
Islam yang cukup kuat di Indonesia. Tak jarang pula mereka sempat
berguru kepada para Ulama dan dosen yang sangat tulus dan lurus dalam
memahami Islam.
Mari kita ulas satu persatu. Ahmad Sahal,
misalnya, ia adalah Juara Pertama Pembaca Kitab Kuning dalam ajang Lomba
Baca Kitab Kuning di Kampus IAIN Syahid Jakarta tempo dulu. Sahal
pula dikenal sebagai aktivis dari keluarga NU yang pernah mengenyam
pendidikan di pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak dan al-Falah, Ploso,
Mojo, Kediri. Atau Ulil Abshar Abdalla, mantan Mahasiwa LIPIA
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang keluar dari “mainstream”.
Ia sempat kuliah di LIPIA pada tahun 1988 sampai 1993 sebelum sempat di
drop-out.
Seperti mahasiswa LIPIA pada umumnya, Ulil juga
mempelajari kita-kitab tauhid seperti karangan Ibnu Taimiyyah. Bahkan
Ulil nyaris saja mendapat gelar sarjana di Fakultas Syari’ah. Namun
saying, berkah LIPIA urung dia dapatkan hingga kemudian dikeluarkan
pihak kampus tanpa sempat menyabet gelar akademis satu pun.
Sebagai
santri, Ulil muda adalah seorang pelajar di Madrasah Mathali’ul Falah,
Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz
(wakil Rois Am PBNU periode 1994 1999 dan Rois Am PBNU 2004-2010). Tak
hanya itu, Ulil juga pernah “mondok” di Pesantren Mansajul ‘Ulum,
Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Berbeda
dengan Ulil yang membela Ahmadiyah, KH Sahal Mahfudz justru terkenal
keras menentang Ahmadiyah. Romo Kyai -begitu para santri memanggilnya
termasuk Ulil- meminta agar Ahmadiyah keluar dari Islam. Beliau terkenal
garang dalam mengkritik kalangan muda NU yang memakai jurus “atas nama
HAM” untuk membela kehadiran Ahmadiyah.
KH. Sahal dengan tegas
menyatakan bahwa Ahmadiyah mempunyai akidah yang berbeda dengan agama
Islam. Ketua Umum MUI pun berkali-kali menyatakan Ahmadiyah sesat dan
meminta pemerintah untuk membubarkan dalam kapasitasnya sebagai petinggi
Majelis Ulama Indonesia. Kisah lain guru, lain murid selanjutnya
berlanjut jika kita menyebut nama Nong Darol Mahmada. Perempuan muda
yang “istiqomah” melepas jilbabnya setelah mangkat dari IAIN Syarif
Hdiayatullah Jakarta ini pernah menulis tentang pengalamannya menjadi
seorang yang taat beribadah sebelum singgah mengadopsi pemikiran
liberal.
“Aku lahir dari keluarga santri. sejak kecil belajar
mengaji. Lulus SD, terus nyantri di pesantren Cipasung Tasikmalaya dari
SMP-SMA. Padahal orang tuaku punya pesantren dan sekolah.”
Bahkan
mantan kader Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) kala kuliah itu
terang-terangan mengakui bahwa dirinya berada dalam derajat liberal yang
kaffah. Simaklah ucapannya berikut ini:
“Di Freedom
Institute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara.
Yang menyatukan kita adalah kita benar-benar menjadi liberal yang
kaffah. Kita merasa satu ide, satu perjuangan.”
Padahal jika
kita tarik ke belakang, nama Pondok Pesantren Cipasung bukanlah
institusi pendidikan Islam yang bisa dipandang sebelah mata. Pesantren
terkemuka di Indonesia ini diasuh oleh seorang ulama kharismatik yang
terekam dalam sejarah sebagai mujahid Islam.
Pondok pesantren
Cipasung Tasikmalaya didirikan pada tahun 1930 oleh almarhum KH. Ruhiat
dengan semangat syiar Islam demikian besar. Almarhum adalah tokoh
terkemuka pada zamannya. Beliau terkenal teguh memegang prinsip Syariat
Islam dan gigih mewarisi pendidikan Pesantren sekali pun halangan dan
rintangan menghadang, utamanya dari pihak Kolonial yang menyebabkan Alm.
KH. Ruhiat harus keluar masuk penjara.
Walaupun hidup dalam
keadaan mencekam, beliau dengan penuh kesabaran dan ketawakalan, tidak
henti-hentinya membina pesantren ini dengan ikhlas. Kyai Ruhiat
memberikan pendidikan dan pengajaran kepada para santri tanpa mengenal
lelah siang dan malam. Semuanya itu demi cita-cita mulia, yakni mendidik
generasi muslim menjadi insan soleh dan takwa di jalan agama. Bahkan
Belanda pernah berusaha membunuh Kyai Ruhiat dengan melepaskan
serentetan tembakan ke arahnya, namun berkat pertolongan Allah SWT,
usaha ini gagal. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada korban dalam
aksi penyerangan itu. Kyai Ruhiat boleh selamat, namun muntahan peluru
tersebut justru mengenai tiga orang santri yang setia bersamanya kala
itu.
Abdur Rozak santri asal Tawang Banteng dan Ma’mun yang
berasal dari Rancapaku keduanya gugur sebagai syuhada. Sedangkan santri
lainya bernama Aen, mendapat luka lebar di bagian kepala. Setelah
dahsyatnya ancaman dan terror datang silih berganti, Ulama kharismatik
itu pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Tasikmalaya. Selama
kurang lebih sembilan bulan beliau hidup dalam pengasingan jeruji besi,
hingga pada tanggal 27 Desember 1949 pimpinan Ponpes Cipasung itu baru
dibebaskan.
Namun sekalipun beraneka cobaan dan cerita pahit
senantiasa menghampiri, Kyai Ruhiat tergolong Ulama yang sabar dan
ikhlas berjuang menyisipkan iman kepada Allah SWT. Beliau berprinsip
sekalipun hidup dalam kondisi sulit, kegiatan mencetak generasi-generasi
soleh di pesantren tidak boleh hanyut tergerus waktu apalagi karam
diterpa gelombang.
Entah apa jadinya jika KH Ruhiat masih hidup.
Perjuangannya yang mesti dibayar dengan darah dan nyawa untuk
mempertahankan pesantren bisa jadi sekarang sedang dikhianati oleh
santrinya sendiri. Dalam situs JIL, Nong Darol Mahmada pernah
mengritik pemberlakuan hukum wajib berjilbab dalam Islam. Dengan
mempersoalkan dalil sahih pemakaian jilbab, ia memulai tulisannya dengan
pertanyaan “Benarkah jilbab itu adalah syariat Islam?”
Lantas
dengan menelaah buku “Kritik Atas Jilbab” karya Muhammad Said Al-Asymawi
yang diterbitkan JIL bulan April 2003, Nong mendelegasikan pernyataan
yang justru tidak akan bisa diterima oleh umat Islam. Ia menulis, “Sebenarnya
konsep hijab bukanlah milik Islam. Dalam kitab Taurat, Injil, bahkan
sebelum munculnya agama-agama Samawi, (seperti zaman Asyria), tradisi
penggunaan jilbab sudah dikenal. Pelembagaan hijab dalam Islam
didasarkan pada ayat 24 Surat An-Nur.”
Menurut Nong, kalimat
dalam ayat “hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah
merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab jahiliah karena
menurut tafsir Ibnu Katsir, perempuan zaman jahiliah biasa
memperlihatkan lehernya. Artinya, ayat jilbab di atas bersifat
kondisional.”
Lalu dengan mengutip Abu Syuqqah, Nong menulis
bahwa kalimat “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal…”
dalam ayat 33:59, menunjukkan bahwa maksud, penggunaan jilbab adalah
untuk membedakan perempuan merdeka dan perempuan budak, bukan pada
substansi ajaran Islam. Bahkan lebih jauh lagi, Nong mengomentari bahwa
ayat ini menunjukkan ketidakjelasan Islam dalam melihat posisi budak.
“Inilah
yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat
ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di
sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu
sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih
mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan
berpakaian di atas.” tulis nong.
Kisah “penghianatan” murid
kepada guru juga terjadi pada pendiri JIL lainnya yakni Luthfie
Asy-Syaukani. Luthfie yang pernah melukai hati umat ketika menyamakan
kasus Lia Eden dengan apa yang dialami Nabi Muhammad SAW, tidak lain
adalah mahasiswa Prof Naquib Al Attas saat di ISTAC-IIUM Malaysia dalam
jenjang Magister.
Berbeda dengan sang murid, Prof Al Attas adalah akademisi yang sangat concern melawan
liberalisne, sekularisme, dan pluralisme Agama. Dari kegigihan Prof Al
Attas lah lahir nama-nama cendekiawan muslim Indonesia yang kini silih
berganti menangkal bahaya penyesatan Jaringan Islam Liberal. Sebutlah
seperti DR. Adian Husaini, DR. Syamsuddin Arif hingga DR. Hamid Fahmy
Zarkasy.
Dalam menepis bahaya Sekuarisme dimana ada pemisahan
antara agama dan politik, serta relasi Islam dan Ilmu, Al Attas sampai
membuat satu buku berjudul “Islam and Secularism”. Al Attas jua
lah yang menekankan tiap mahasiswanya untuk tidak minder terhadap Barat.
Al-Attas kemudian menuding bahwa konsep ilmu sekular Barat adalah
sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia saat ini.
Karena itu, saat menjadi Keynote Speaker pada
Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Al-Attas menggulirkan
makalah berjudul ”The Dewesternization of Knowledge.” Dan langkah awal
diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah “Islamisasi Ilmu.” Sekali
lagi: Lain guru, lain murid. Sebaliknya, Luthfie amat kagum kepada
Barat. Ia pernah mengecam umat muslim yang alergi terhadap sekularisme.
Dalam tulisannya, Berkah Sekularisme, yang dimuat pada koran Jawa Pos
tahun 2005, Luthfie menyatakan bahwa Sekularisme adalah berkah bagi
agama-agama.
“Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi
konsep yang sangat efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan
ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan
landasan pada demokrasi dan persamaan hak.” tulis Luthfie.