“HALAL, Tapi Tuhan Tidak Suka”. Judul artikel menggelitik ini penulis dapatkan dari sebuah situs “Islam” tertanggal 6/10/2010. Berkisah tentang sebuah klaim fiqih yang menyatakan murtad bagi
seorang muslim adalah hal lumrah, artikel ini kemudian mengqiyaskan
pemurtadan yang dilakukan tiap mukmin setara dengan kasus perceraian.
Jadi, walaupun halal, tapi Tuhan tidak suka. Begitu maksudnya.
Rupanya, kalimat Lâ Ikrâha fî ad-Dîn dalam Al Qur’an, bagi sang penulis adalah bukti tidak ada paksaan dalam beragama. Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil
yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama. Nyaris
mirip dengan memilih Istri.
Bahkan dalam tulisan lain berjudul “Salahkah Geert Wilders?”, seorang
penulis menyatakan bahwa Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis cukup banyak
membenarkan pandangan Geert Wilders yang mengatakan Al Qur’an kitab
bar-bar. Di akhir kalimat, sang penulis berujar:
“Orang yang meragukan Fitna Wilders dari sekarang harus menelaah
al-Qur’an, hadis-hadis, dan sejarah Islam dengan akal yang
sesehat-sehatnya.”
Kisah di atas adalah dua kasus dari bentuk situs Jaringan Islam
Liberal (JIL) yang kerap mengeluarkan artikel penyudutan terhadap ajaran
Islam. Nama JIL yang sudah tenar akan kenyelenehannya, kian populer
pasca meledaknya Bom Utan Kayu hingga menyadarkan masyrakat luas bahwa
JIL memang belum mati.
Betul memang nama JIL sempat redup, setelah desas-desus menyatakan
mereka tidak lagi mendapat bantuan asing. Ulil Abshar Abdala sebagai
koordinator membenarkan hal itu. Katanya, tahun 2004 adalah tahun
terakhir bagi JIL dalam menerima dana asing. Oleh karena itu, dalam laporan khusus kali ini, kita akan mengupas
sejarah, sepak terjang, detik-detik menjelang semakin redupnya dan
reinkarnasi wajah baru JIL dari waktu ke waktu.
Sejarah Jaringan Islam Liberal
Kisah seputar berdirinya JIL sebagai sebuah lembaga memiliki sejarah
panjang. Kisah ini bermula dari sebuah mailing list (milis) bernama islamliberal@yahoogroups.com
di awal tahun 2000-an. Kala itu, masih belum banyak pengikut milis ini,
mengingat teknologi internet adalah perangkat teknologi baru di
kalangan masyarakat kala itu.
Sosialisasi milis ini pun belum tersebar secara merata. Beberapa
mahasiswa muslim, alumni IAIN, dan juga dosen masih terpencar dalam
milis-milis kecil dan kelompok-kelompok kajian berbeda. Namun yang jelas, wacana ataupun isu seputar liberalisasi pemikiran
Islam bukanlah barang baru. Wacana akan hadirnya Islam liberal secara
merata di seluruh daerah sudah sempat dimulai oleh beberapa kalangan,
bahkan jauh sebelum ide sekularisasi Nurcholish Madjid mengemuka pada
tahun 1970-an.
Setidaknya menurut Greg Barton dalam bukunya “Gerakan Islam Liberal
di Indonesia” (Paramadina: 1999), sebuah kelompok diskusi di Jogjakarta
tahun 1967 sudah melakukan inisiasi dalam mempopulerkan gagasan
liberalisasi pemikiran Islam. Adalah Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi yang terlibat
aktif dalam diskusi Liberalisasi pemikiran Islam di rumah HA Mukti Ali.
HA. Mukti Ali sendiri pada tahun 1971 terpilih menjadi Menteri Agama
menggantikan KH. M Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa
jabatannya, dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet
Pembangunan II (1973-1978).
Sedangkan nama Ahmad Wahib adalah sosok yang juga menjadi penting
akan “kelahiran” JIL. Naas mahasiswa Fisika UGM tersebut meninggal
sesaat sebelum berangkat ke kantor Tempo sebagai wartawan pada tahun
1973. Nama Wahib kemudian menjadi tenar setelah itu. Catatan hariannya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam” kemudian
dibukukan dan menjadi “bacaan wajib” bagi mahasiswa liberal saat itu.
Jika ingin tahu bagaimana gagasan liberal pada durasi tahun 60-an, mari
kita dengarkan penuturan Wahib dalam catatan hariannya tertanggal 9
Oktober 1969:
“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan
buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan
humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim.
Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan
(absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya
termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai
manusia.”
Tidak hanya itu, nama Ahmad Wahib pun kian santer setelah dijadikan
sayembara penulisan esai di bidang pemikiran Islam liberal dengan tajuk
“Ahmad Wahib Award”. Pada tahun 2008 misalnya, tema-tema yang diangkat untuk ditulis
nyaris mengkultuskan Wahib seperti “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan:
Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia”; “Ahmad Wahib dan Islam
Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam”; “Berpikir Bebas
bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?”. Juara pertama akan mendapatkan
hadiah Rp. 20 Juta. Sebuah angka fantatis bagi ukuran mahasiswa S1.
Dalam bukunya “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” (Hujah Press: 2007),
Budi Handrianto menyebut tokoh lainnya yang berperan penting dalam
perjalanan liberalisasi pemikiran di Indonesia, yakni tiga serangkai
pemikir sekaligus birokrat: Harun Nasution, Abdurahman Wahid, dan
Munawir Sjadzali.
Kembali ke masalah milis, melihat animo yang cukup banyak, jejaring
maya ini memiliki daya tahan cukup lama. Muka-muka baru pun muncul
mewarnai diskusi seiring derasnya buku-buku liberal hadir di tengah
masyarakat.
Dominasi periodeisasi pra kelahiran JIL masih dikuasai basis
sedimentasi anak-anak Ciputat, juga tak sedikit dari alumni Barat dan
para akademisi Jojga yang direpresentasikan mahasiswa IAIN Jogjakarta
dan UGM. Dari serangkaian diskusi-diskusi inilah kemudian tergagas
keinginan untuk membentuk suatu wadah bernama Jaringan Islam Liberal.
Pada tahun 2001 akhirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan
di Jakarta. Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu pentolan JIL dan
lulusan Melbourne, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi
munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti,
Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).
Sejak awal, menurut Luthfi, JIL memang diniatkan sebagai payung atau
lebih tepatnya penghubung organisasi ‘Islam Liberal’ yang ada di
Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau
lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi
komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal
berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.
Sebagai tempat beraktifitas, lokasi Jalan Utan Kayu no. 68 H, di
sekitaran komplek Rawamangun Jakarta Timur menjadi pilihan utama sebagai
kantor JIL. Sebidang tanah ini sebenarnya adalah milik jurnalis dan
intelektual senior Goenawan Mohammad yang juga memiliki visi sama dengan
JIL. Komunitas Utan Kayu sendiri didirikan pada tahun 1996 sebagai
bentuk perlawanan, khususnya di bidang informasi, terhadap rezim Orde
Baru.
Goenawan Mohammad sempat menceritakan bahwa di Utan Kayu juga berdiri
galeri kecil dan teater sederhana, yakni Galeri Lontar dan Jurnal
Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian baik untuk
acara kesenian maupun pertemuan politik. Selain daripada kedua hal diatas, Komunitas Utan Kayu juga memiliki
kantor berita yang dipimpin oleh Santoso. Radio inilah yang disebut KBR
68H. (bersambung)
islampos.com