Syahadat on the road - Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan
bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari wanita,
sebagaimana dikatakan Al-Qur’an:
“…Sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …” (QS. Ali Imran: 195)
Manusia
merupakan makhluk hidup yang di antara tabiatnya ialah berpikir dan
bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia
manusia.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan manusia agar mereka
beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji
siapa di antara mereka yang paling baik amalannya. Oleh karena itu,
wanita diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki – dan dengan
amal yang lebih baik secara khusus – untuk memperoleh pahala dari Allah
Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan…’” (QS. Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Selain
itu, wanita – sebagaimana biasa dikatakan – juga merupakan separo dari
masyarakat manusia, dan Islam tidak pernah tergambarkan akan mengabaikan
separo anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh,
lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi
sesuatu pun.
Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang
tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka
memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara fisik maupun
mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan
oleh faktor material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun
yang dapat menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini, yang
padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya pula terwujud
kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan yang berupa manusia (sumber
daya manusia). Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:
Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan
Jika Anda mempersiapkannya dengan baik
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik
pokok pangkalnya.
Jika Anda mempersiapkannya dengan baik
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik
pokok pangkalnya.
Di
antara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya membahagiakan
suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram damai, penuh
cinta dan kasih sayang. Hingga terkenal dalam peribahasa, “Bagusnya
pelayanan seorang wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fi
sabilillah.”
Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di
luar rumah itu diharamkan syara’. Karena tidak ada seorang pun yang
dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara’ yang shahih
periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya. Selain itu, pada dasarnya
segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah
dimaklumi.
Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita
bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan
kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib apabila ia
membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan
suaminya, sedangkan tidak ada orang atau keluarga yang menanggung
kebutuhan ekonominya, dan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk
mencukupi dirinya dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang
lain.
Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita
untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh anak-anaknya atau
saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil, atau membantu ayahnya yang
sudah tua – sebagaimana kisah dua orang putri seorang syekh yang sudah
lanjut usia yang menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur’an
surat al-Qashash:
“… Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumi (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’” (QS. Al-Qashash: 23)
Diriwayatkan
pula bahwa Asma’ binti Abu Bakar – yang mempunyai dua ikat pinggang –
biasa membantu suaminya Zubair bin Awwam dalam mengurus kudanya,
menumbuk biji-bijian untuk dimasak, sehingga ia juga sering membawanya
di atas kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.
Masyarakat
sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan wanita, seperti dalam
mengobati dan merawat orang-orang wanita, mengajar anak-anak putri, dan
kegiatan lain yang memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama
adalah wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan laki-laki.
Sedangkan
diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita
dalam beberapa hal adalah karena dalam kondisi darurat yang seyogianya
dibatasi sesuai dengan kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.
Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
1.
Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, pekerjaan itu
tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita
yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi
sekretaris khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan
mereka sering berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang
nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar
untuk menghidangkan minum-minuman keras – padahal Rasulullah SAW telah
melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya. Atau
menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minum-minuman
yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di
negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang
diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun khusus untuk
laki-laki, ataupun untuk keduanya.
2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya …’” (QS. An-Nur: 31)
“… Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan …” (QS. an-Nur: 31)
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al-Ahzab 32)
3. Janganlah pekerjaan
atau tugasnya itu mengabaikan kewajiban-kewajiban lain yang tidak boleh
diabaikan, seperti kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang
merupakan kewajiban pertama dan tugas utamanya.
(hdn)
–
Maraji’: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Yusuf Qaradhawi