Syahadat on the road - Setelah generasi pertama Jaringan Islam Liberal naik daun. Era
berfikir liberal mulai beralih ke generasi yang lebih muda. Nama-nama
pengusung pemikiran liberal tidak lagi hanya menjadi domain Ulil Abshar
Abdalla, Nong Darol Mahmada, ataupun Ahmad Sahal.
Budhy Munawar
Rahman menyebut minimal ada lima orang yang menjadi kiblat generasi
kedua JIL, yakni Abdul Moqsith Ghazali, Guntur Romli, Novriantoni, Anick
Hamin Tohari, dan Burhanuddin Muhtadi. [1]
Tak jauh berbeda dari
pendahulunya, generasi penerus ini pun tampak lebih berani dan semakin
gigih melontarkan ucapan-ucapan menyeleh. Dari menganggap murtad perkara
biasa sampai menyatakan KH. Kholil Ridwan bid’ah karena mengharamkan
film ? Hanung. Mari kita kupas satu persatu.
Abdul Moqsith Ghazali: Ketika Murtad Menjadi Hal Biasa
Nama
ini sudah tidak asing bagi pengkaji pemikiran Islam. Ia adalah dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dilahirkan
di Situbondo pada 7 Juni 1971, Moqsith -sapaan akrabnya- kini telah
menamatkan program S-3 di almamater yang sama.
Nama Moqsith mulai
mencuat ketika menjadi konsultan dan pengasuh rubrik fiqh majalah
Syir’ah Jakarta bersama fatwa-fatwanya yang dinilai kontroversial. Salah
satunya menimpa salah seorang ibu ketika berkonsultasi tentang masalah
fiqh. Singkatnya sang ibu memiliki anak yang berencana pindah agama
meninggalkan Islam.
Sang anak yang duduk di bangku kuliah itu
sudah tidak betah berada dalam agama suci ini karena termakan isu
terorisme. Ibu tersebut lalu bertanya kepada Moqsith, “Bagaimana
pandangan fikh Islam menyangkut perpindahan agama?”
Menjawab
pertanyaan hukum murtad tersebut, Moqsith mengemukakan tiga ayat Qur’an
yaitu “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS Al Kafirun: 6),
“Barangsiapa yang ingin beriman maka berimanlah dan barangsiapa ingin
kafir maka kafirlah (Al Kahfi 29). “dan tidak ada paksaan di dalam
urusan agama” (Al Baqarah: 256).
Setelah
mengutip ketiga ayat tersebut Moqsith menjelaskan, “Ayat-ayat diatas
cukup jelas bahwa manusia itu tidak dipaksa untuk memeluk suatu agama
dan keluar dari agamanya. Tuhan memberi kebebasan penuh keapda manusia
untuk beriman dan tidak beriman, beragama Islam ataupun tidak. Kalau
Tuhan saja tidak memaksa seluruh hamba-hambanya untuk beriman kepadaNya,
maka lebih-lebih orangtua terhadap anaknya.”
Setelah itu Moqsith
menyimpukan, “Namun sekiranya dia telah berketetapan hati untuk pindah
agama ke agama lain maka tidak ada pilihan kecuali bahwa ibu mesti
mengikhlaskan kepergiannya ke agama lain. Sesuai dengan perintah Al
Qur’an di atas, tidak boleh ada pemaksanaan menyangkut perkara agama”
(Majalah Syir’ah No 39 hal 84-85) [2]
Disertasi Moqsith pun
sempat menuai kontroversi di UIN Syarih Hidayatulah Jakarta. Ia menulis
peneltian untuk gelar doktor itu dengan judul Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis. [3]
Dalam
disertasi itu, untuk mendukung pluralisme agama, Moqsith sampai-sampai
menyelewengkan Sirah Nabawiyah. Dia mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw
pernah menikahi wanita Kristen koptik bernama Maria Qibtiyyah. Ia juga
menyebutkan ada sahabat yang menikahi wanita ahlul kitab yakni, Utsman
bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah bin Yaman, dan Sa’ad bin
Abi Waqash.
Tak puas mendistorsi sirah, ia mengobok-obok ajaran
Islam. Moqsith menulis, “… terutama Yahudi dan Nasrani, Islam tak
menafikkan konsep-konsep ajarannya. Kebenaran wahyu dalam agama-agama
itu tidak bertentangan satu dengan lainnya.” Untuk mendukung argumennya
itu, ia mengutip surat al-Maidah ayat 48. [4]
Sayang
dari delapan penguji, hanya satu yang menolak meluluskan disertasi
nyeleneh ini yakni Profesor Salman Harun. Beliau mencap Moqsith telah
melakukan pemurtadan dan menyembunyikan tafsir-tafsir ulama klasik yang
menolak pluralisme. “Disertasi kayak begini kok lulus?” geram Prof
Salman. [5]
Sekalipun berpemikrian liberal, Moqsith tercatat
sebagai dewan pengasuh pondok pesantern Zainul Huda, Arjasa, Sumenep
Madura. Ia juga menulis di pebagai jurnal seperti Tashwirul Afkara
(Lakpesdam NU), Jurnal Dialog Litbang Depag RI serta aktif menjadi
editor buku-buku Islam. Terakhir ia pun menulis buku berjudul Metodologi
Studi Al Qur’an (2010), sekalipun judul buku itu terlihat Islam, di
dalamnya justru meragukan kesucian Al Qur’an.
Guntur Romli: Kerap Berbohong dan Melecehkan
Untuk
kita ketahui saja, Guntur Romli telah menikah dengan sesama aktivis JIL
lainnya, yakni Nong Darol Mahmada. Entah apa yang menyatukan kedua
insan ini. Mungkin memang karena Nong dan Guntur memiliki kesamaan
pemikiran dalam memandang Islam liberal, atau mungkin juga ingin
membentuk contoh keluarga liberal? Wallahua’lam.
Guntur
lahir di Situbondo, Jawa Timur. Ia berhasul lulus dari Pesantren Al
Amien Madura lalu melanjutkan belajar di Universitas al-Azhar, Cairo,
Mesir dari tahun 1998 sampai akhir tahun 2004.
Sekalipun ia
jebolan Universitas Al Azhar, tak menutup dirinya untuk berfikiran
liberal. Dalam tulisannya yang sempat dimuat di sebuah jurnal feminisme
radikal, Guntur Romli menyatakan bahwa Umar bin Khathab pernah melakukan
anal seks.
Tuduhan tersebut diklaimnya bersumber dari tafsir
al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur karya Imam Suyuthi. Hal itu
diungkap Munarman pada kasus persidangannya terkait Insiden Monas, senin
8 september tahun 2009. Kita tahu kasus itu sangat santer.
Namun,
Guntur tidak mengakui soal tulisannya tersebut. Ia beralasan apa yang
dia tulis tidak persis seperti itu. Munarman pun menunjukkan tulisan
Guntur yang lain. Salah satunya berjudul “Pewahyuan Al-Quran: Antara
Budaya dan Sejarah” yang dimuat Koran Tempo pada 4 Mei 2007.
Dalam
tulisan itu, Guntur menyebut Al Qur’an merupakan rumusan gotong royong
antara Allah SWT, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw. Guntur juga
menuding Al Qur’an adalah kitab saduran yang menyuting (mengedit)
keyakinan dari kitab suci Kristen sekte Ebyon, yang disesuaikan dengan
kepentingan penyuntingnya.
Salah satu kepentingannya adalah
karena kedekatan Nabi Muhammad dengan Waraqah bin Naufal, seorang rahib
Kristen Ebyon, yang memiliki jasa besar dalam menikahkannya dengan
Khadijah. Berikut tuduhan Guntur:
“Bukti lain bahwa Al Qur’an
tidak bisa melampaui konteksnya adalah kisah tentang Nabi Isa (Yesus
Kristus). Sekilas kita melihat bahwa kisah Nabi Isa dalam Al Qur’an
berbeda dengan versi Kristen. Dalam Al Qur’an, Isa (Yesus)
hanyalah seorang rasul, bukan anak Allah dan akhir hayatnya tidak
disalib. Sementara itu dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus itu
disalib, yang diyakini untuk menebus dosa umatnya.
“Ternyata
kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh keyakinan
salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni
sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus)
mati di salib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bi’dah…
Pertanyaan
selanjutnya adalah mengapa Al Qur’an lebih memilih pandangan Ebyon yang
minoritas dan keyakinannya dianggap bid’ah oleh mayoritas Kristen waktu
itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena
pandangan Ebyon ini lebih dekat dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua,
sepupu Khadijah bernama Waraqah bin Naufal adalah seorang rahib sekte
Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan Muhammad-Khadijah diakui oleh
sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah (Biografi Nabi Muhammad),
seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun buku-buku hadis
standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.”
Artikel ini lah
yang dibawa Munarman dipersidangan. Hal itu dilakukan karena Munarman
ragu saat Guntur dijadikan saksi atas kasus AKKBB saat tragedi Monas
karena kerap menulis hal yang nyeleneh.
Namun anehnya, Guntur
menolak jika dikatakan tulisan tersebut merupakan hasil karyanya
sendiri. “Saya menolak karena itu bukan tulisan saya,” bantah Guntur.
Padahal,
setelah mendapatkan izin majelis hakim, Munarman menunjukkan berkas
tulisan-tulisan tersebut pada Guntur, jaksa dan pengacaranya. Dan jika
anda tidak percaya, anda bisa menelusuri sendiri bahwa tulisan itu benar
adanya dari Guntur. Silahkan dicek pada situs tempo
(http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2007/05/04/Opini/krn.20070504.100548.id.html)
Dalam
kesaksiannya di persidangan, Guntur Romli juga sempat memberikan
keterangan yang berbeda terkait dengan posisinya saat kejadian insiden
Monas.
“Dalam jangka waktu 2 menit, ada 4 keterangannya yang berbeda,” ujar Munarman saat rehat sidang untuk buka puasa dan sholat maghrib. [6]
Selain gemar berbohong, Guntur juga kerap
melecehkan. Baru-baru ini Guntur melecehkan KH. Kholil Ridwan yang
mengharamkan film ? milik Hanung. Guntur mengatakan apakah menonton film
itu bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi. “Maaf, Cholil Ridwan juga
bid’ah karena muka dia juga tidak ada di zaman Nabi,” terangnya. Sekali
lagi dengan gaya melecehkan. [7]
Catatan Kaki
[1] Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 32
[2]
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Pengusung Ide Sekularisme,
Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007). h.
179-181
[3] Disertasi ini kini telah menjadi buku dengan judul
Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an
(Jakarta: KataKita, 2009, 401 halaman)
[4] Erdy Nasrul, Demi Pluralisme Sirah Nabi Diplintir, Liputan Majalah Sabili
[5] http://www.wahidinstitute.org/, Moqsith Raih Gelar Doktor”Disertasi Begini kok Lulus”, Rabu, 19 Desember 2007
[6]
http://suara-islam.com, Sebut Sahabat Umar ra Pelaku Anal Seks,
Munarman Ragukan Kredibilitas Guntur Romli. Senin, 8 September 2009
[7] http://pedomannews.com, Guntur Romli: Cholil Juga Bid’ah, Mukanya Nggak Ada di Zaman Nabi . Ahad, 17 April 2011