Oleh :
Ustadz Muhammad Jamhuri, Lc.
“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “ (QS. Al-Israa: 1)
Syahadat on the road - Mengapa Allah swt memulai
ayat ini dengan kata “subhanalladzi” (Maha Suci Alllah) ?
Jawabannya adalah agar kita menyikapi peristiwa Isra Mi’raj ini dengan
pendekatan iman, bukan dengan pendekatan logika. Sebab, jika dengan pendekatan
logika maka akan sulit dinalar oleh akal untuk suatu peristiwa Isra Mi’raj yang
jaraknya jauh itu hanya dilakukan dalam waktu semalam
saja. Orang-orang Quraisy menempuh perjalanan
Makkah-Jerussalem biasa memakan waktu tidak kurang dari sepuluh
hari.
Dengan pendekatan iman, maka kita akan mudah menerima
peristiwa mukjizat ini. Karena tidak ada yang tidak mungkin di tangan Allah swt
. Firman Allah swt, “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia“
(QS. Yasin: 82)
Penjelasan ini dikuatkan dengan kata berikutnya, “asraa” (Yang
memperjalankan di malam hari). Dalam tata bahasa Arab, kata
“asraa” merupakan fi’il maziid (kata
kerja yang ditambahkan huruf), asalnya adalah “saraa-yasrii” (berjalan malam).
Kata “saraa-yasrii” adalah bentuk fi’il lazim (kata kerja yang
tidak membutuhkan objek). Kemudian ditambah dengan hamzah
al-qoth’i di awal kata itu menjadi “asraaa’, sehingga berubah
menjadi fi’il muta’addi (kata kerja yang membutuhkan objek/maf’ul-bih).
Dengan demikian, pada dasarnya perjalanan Nabi saw pada peristiwa ini bukanlah
berjalan dengan sendirinya. Akan tetapi beliau diperjalankan oleh Allah swt.
Pada ayat di atas berariti subjeknya adalah Allah, dan
objeknya adalah Nabi Muhammad saw. Sehingga, pada hakekatnya
Allah-lah yang memperjalankan beliau di malam hari, bukan jalan dengan
kemampuan Nabi sendiri.
Ibarat kisah dua semut. Semut pertama menempel di baju
seseorang, sehingga saat baju itu dipakai, semut itu terbawa kemana-mana hingga
ke tempat yang jauh mengikuti sang pemilik baju, lalu tiba sebelum malam.
Tatkala semut itu turun dari baju dan bertemu semut lainnya, ia bercerita bahwa
ia sudah berjalan-jalan ke tempat anu dan anu yang jauh. Tentu saja, jika semut
yang kedua berpikir dengan logika semut, maka semut itu tidak mungkin berjalan
ke tempat yang jauh, dan kembali sebelum matahari terbenam, sementara
langkah-langkah semut begitu kecilnya. Akan tetapi permasalahannya adalah,
semut itu bukan jalan sendiri, tapi diperjalankan oleh seorang yang
memiliki baju yang telah dihinggapi semut tersebut..
Selanjutnya, Allah swt dalam ayat al-Israa ini
menyebut kata “bi ’abdihi” (memperjalankan hambanya). Mengapa tidak
menggunakan kata “bi rosulihi”? (memperjalankan rasul-Nya)? Hal ini
menunjukkan adanya “isytirok” atau “musyarakah” atau
kesertaan siapapun dari hamba Allah yang ingin mendapat derajat seperti
Rasulullah saw ber-mi’roj. Jadi siapa saja yang telah menyembah Allah dengan
sebenar-benarnya penghambaan, totalitas hidupnya hanya untuk mengabdi kepada
Allah, maka ia dapat bermi’roj (naik) ke hadapan Allah, meskipun tidak secara
fisik. Oleh sebab itu, Rasulullah saw bersabda, “Ash-Sholatu
Mi’rojul Mukminin” (Sholat adalah mi’roj-nya orang-orang beriman)..
Jadi, mi’roj bisa dilakukan semua hamba Allah swt yang totalitas hidupnya hanya
mengabdi demi dan untuk Allah swt.
Kata berikutnya adalah “Lailan” (di malam
hari). Mengapa Allah swt menyebut kata “lailan” ini?, padahal kata “saraa”
atau “asraa” sudah mengandung makna berjalan di malam hari?. Hal ini
untuk memberi pesan, bahwa jika seseorang inginconnect dan online dengan
Allah swt tanpa ada gangguan “sinyal”, maka waktu yang tepat adalah
beribadah di malam hari melalui qiyamullail atau sholat malam/tahajjud. Firman
Allah swt, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat
(untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (QS.
Al-Muzammil: 6). Betapa banyak wahyu yang Allah turunkan di malam hari?
Termasuk wahyu yang pertama surat al-’Alaq 1-5 yang diturunkan saat malam
Ramadhan di gua Hira. Begitu pula dengan surat al-Muddatstsir yang merupakan
wahyu kedua yang Allah turunkan.
Dan seseorang yang rajin melaksanakan shalat tahajjud,
maka ia mendapat kedudukan yang terpuji. Firman Allah swt: “Dan
pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji
“ (QS. Al-Israa: 79).
Berikutnya, Allah swt menyebut dua masjid; Masjidl
Haram dan Masjidil Aqsha. Mengapa? Untuk mengantarkan kepada kita agar hati
kita selalu terpaut dengan masjid. Di mana pun kita berada, hendaknya hatinya
terpaut dengan masjid. Maksudnya adalah sesibuk apapun kita, di manapun kita
berada, usahakanlah saat-saat shalat fardhu di lakukan di masjid. Sehingga jika
kita sedang di jalan tol misalnya, lalu datang waktu shalat, maka hendaknya
kita sholat di masjid di rest Area. Karena dalam tiap langkah ke masjid akan
dihapus satu dosa dan diangkat satu derajat.
Rasulullah saw dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa
salah satu golongan yang akan mendapat naungan di hari Kiamat yang tidak ada
naungan kecuali nanungan Allah, adalah rojulun qolbuhu mu’allaqun bil
masajid (seorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid). Ada dua
kemungkinan makna hati yang terpaut dengan masjid ini. Pertama, orang itu tetap
di masjid menunggu shalat setelah shalat (intizhar sholat ba’da shalat).
Kedua, boleh jadi orang itu keluar dan melakukan aktifitas sehari-hari, namun
setiap mendekati waktu shalat, dia bersiap-siap untuk melaksanakannya di
masjid,, bukan di rumah, kantor atau lainnya.
Pesan kedua adanya penyebutan masjidil Aqsha pada ayat
ini adalah, seakan ayat ini berpesan bahwa masjidil Aqsha adalah bagian dari
sejarah peninggalan umat Islam. Dia adalah tempat di-israami’roj-kannya
Nabi saw, dan dia juga merupakan kiblat pertama kaum muslimin. Sehingga
keberadaan dan nasib masjid itu merupakan tanggung jawab seluruh kaum muslimin,
dan bukan hanya menjaidi tanggung jawab bangsa Palestina saja. Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa yang tidak memperdulikan urusan kaum muslimin, maka dia
bukan termasuk golongan mereka.” (al-hadits).
Jika kita tidak bisa berjihad secara fisik membebaskan
Masjidil Aqsha, maka hendaklah berjuang dengan harta kita. Jika masih belum
dapat membantu dengan harta, maka paling tidak kita membantu mereka dengan
doa-doa. Adakah kita pernah mendo’akan mereka?
Selanjutnya Allah swt menyebut kata “alladzi
baarokna haulahu” (yang Kami berkahi sekelilingnya). Para ulama
menyebut bahwa bentuk keberkahan Juressalem dan daaerah sekitarnya adalah bahwa
di tanah itu banyak diutus para Nabi dan Rasul. Imam al-Syafi’i
menyebut bahwa keberkahan Masjidil Aqsha lebih luas dibanding keberkahan
Makkah. Sebab, saat Allah menyebut keberkahan Masjidil Aqsha, Allah menyebutnya
dengan ”Baarokna Haulahu” (Kami berkahi sekitarnya). Sedangkan pada
saat menyebut Bakkah (Makkah), Allah hanya menyebut “bi bakkata mubaarokan”
(di Makkah yang diberkahi) (QS. Ali Imran 96). Oleh sebab itu, Imam Syafi’i
lebih menyukai beri’tikaf di Masjidil Aqsha dari pada di Masjidil Haram.
Lalu, di akhir ayat al-Israa ini, Allah
berfirman, “Untuk Kami perlihatkan kepadanya (Muhammad) sebagian
tanda-tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar dan Maha
Melihat (mengetahui)”.
Kalimat terakhir pada ayat ini memberi pesan kepada
Nabi Muhammad saw dan kita semua agar tidak takut dalam menghadapi menjalankan
tugas dakwah, karena backingnya adalah Allah yang Maha Kuasa, dan Dia melihat
dan mendengar kita, tidak membiarkan kita sendirian.
Sebab turunnya ayat ini adalah, pada tahun kedelapam
kemabian, Rasulullah mengalami musibah yang membuat beliau merasakan kesedihan.
Sehingga tahun itu dalam kitab-kitab tarikh disebut ‘Aamul Huzni (tahun
kesedihan). Sebab, pada tahun itu beliau berturut-turut ditinggal mati oleh dua
orang yang sangat dicintainya dan menolong dakwahnya, yaitu Khadijah binti
Khuwailid sang isteri tercinta, dan paman beliau bernama Abu Thalib.
Keduanya berpihak membela dan membantu dakwah
Rasulullah saw. Mereka adalah pemuka Quraisy yang sangat disegani oleh kaumnya.
Nah, dengan kematian mereka, Rasulullah saw merasa
berdakwah sendiri. Tidak ada lagi yang dapat menolong beliau dari intimidasi
kaum Quraisy dan beliau mengkhawatirkan dakwahnya dan para pengikutnya.
Untuk menghibur Nabi saw dan menguatkan hatinya
itulah, Allah swt ‘mengundang’ Nabi saw melihat-lihat kekuasan-Nya menyaksikan
tanah Jerussalem tempat banyak nabi diutus di sana, bahkan nabi diperlihatkan
ciptaan Allah yang spektakuler, yaitu berupa planet dan galaksi yang teratur
rapi, bahkan beliau bisa naik ke langit yang ketujuh.
Hal ini seakan memberi pesan, “Hai para da’i,
janganlah engkau takut pada orang-orang durjana, engkau berjuang tidak sendiri,
engkau akan dibela dan ditolong Allah swt yang memiliki kekuasan di langit dan
di bumi. Allah tidak membiarkan engkau berjuang sendiri, tapi Allah tetap
memantau, melihat dan mendengar segala aduanmu. Oleh karena itu, janganlah
engkau bersedih, meskipun harus ditinggal oleh orang-orang yang engkau cintai
dan telah membantu engkau.”
Perjalanan rohani Isra Mi’rtaj ini menambah
spritual dan kestabilan jiwa Rasulullah saw dalam melanjutkan tugas
dakwahnya. Begitupun bagi siapa saja yang ingin kestabilan jiwa, hendaklah
mendekatkan Allah di malam hari. Karena hanya dengan mengingat Allah sajalah
hati akan stabil (tenang). “Ketahuliah, hanya dengan mengingat Allah
hati akan tenang.” (QS.Al-Ra’d: 28). Wallahu a’lam bish-showab.