Syahadat on the road - Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini juga dikenal dengan panggilan syeikh tarbiyah oleh jam’ahnya lahir di Jakarta 3 Juli 1953. Meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta,
karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada
tanah kelahirannya.
Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti
kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan
perjuangan Islam. Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan
sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang
ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia
kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban
hidup yang mesti ditanggungnya.
Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus
ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam
pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar
negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan
Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya
generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al
Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode
baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang
harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.
Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang
setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP.
Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya.
Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran
anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari
Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.
Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat
memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test
dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat
SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan
lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah
duduk di kelas III.
Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi
ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah
(Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan
bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru
sama-sama mengaji bersamanya.
Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia
belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu
terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia,
yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran
inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba
kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan
informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi
sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk
membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi
orang-orang kaya zaman itu.
Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah
Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits,
psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu,
sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi.
Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai)
serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu
memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.
Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had
Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah
Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan
berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan
kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan
pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki
masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian
bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia
kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater
bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya. Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66
atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak
dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari
KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat
rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun
sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.
Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak
berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah
Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran
Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutbh,Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.
Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan,
menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh
M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun
mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia
ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.
Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal
lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya
akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar
pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang
bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi
Kopassanda malah menjawab, “Nabi saja bisa meleset janjinya.” Kontan
mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung
berucap, “Nabi yang mana janjinya tidak tepat,” Kopasanda itu malah
menjawab, “Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini.” Rahmat remaja
langsung menyambut, “Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini,
sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji
itu,” ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.
Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah
muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya
mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan
Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan
baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.
Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam
wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul
Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di
tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya
serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan
menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia
pentaskan berjudul “Perang Yarmuk” yang tampil bersama Abdullah
Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan
aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Soeharto.
Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM.
Namun Rahmat justru menjawab “Kalau yang memanggil Ibu, saya akan
datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah
datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya,”
ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat
panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis
di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling
‘memberangus’ sesama Muslim.
Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat
tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman
yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah
tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.
Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat,
ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi
muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu
Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5
tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.
Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan
walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz
wakil dari perempuan mengatakan, “Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak
akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini.” Akhirnya,
disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. “Soal
KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje,” ujar ustadz tadi. “Bah, ini
rada-rada ketemu,” ujar Rahmat muda dalam hati.
Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih
ada teman pemuda masjid yang bertanya, “Ini mau kemana sih?” Apalagi
suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di
pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat
telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di
Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki yang sudah mulai
akrab dipanggil Ust. Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak
poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan
untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai
kota di Jawa. “Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya
disebut ‘konsolidasi’lah,” ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa
saat lalu.
Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga
lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan
Nusaibatul Hima (15).
Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah
Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu
Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus
bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan
dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang
didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu.
Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu
implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan
kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan
kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses
berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik,
penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan
digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu
harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya.
Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran
baru berekspresi dalam dakwah.
Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot
I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha
(13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993
bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan
dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di
Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya
di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa
untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab
klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian
dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9),
Hasnan Fakhrul Ahmadi(7). Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi,
kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya,
Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi
pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi
sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di
Iqro’.
Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun
1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan.
Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua
Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama
teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.
Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru
dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen.
Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan
Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.
Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan
Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun
penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap
kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan
kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi
para pemimpin negeri ini.
Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin
Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan
luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian
sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik,
Selasa, 14 Juni 2005.
Sumber : biografi.rumus.web.id