Syahadat on the road -Keluarnya fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang
Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (Sepilis), pada tahun 2005
menjadi pukulan telak bagi Jaringan Islam Liberal (JIL). Eksistensi JIL
lambat laun meredup pasca ulama di berbagai daerah ramai-ramai menyerang
balik JIL. Bahkan pengamat Gerakan Yahhudi, Artawijaya menyatakan dana
untuk JIL dari asing pun sempat dihentikan karena JIL dinilai gagal
masuk ke dalam masjid-masjid untuk mengkampanyekan ide liberalisasi
Islam.
Namun, dengan meredupnya JIL, bukan berarti gagasan
liberalisme benar-benar mati. Tahun 2011, beberapa tokoh Jaringan Islam
Liberal (JIL), memperkenalkan sebuah kelompok kajian baru di Jakarta.
Mereka menamakan diri Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI).
Embrio KEMI sendiri berkembang sejak pertengahan 2010 dan makin
tersistematisasi mulai awal Januari 2011.
“KEMI ingin memunculkan
spirit bahwa umat Islam bisa berkembang. Bahwa Islam percaya kepada
kebebasan berfikir dan toleran terhadap agama lain,” tandas Neng Dara
Afifah saat peluncuran KEMI di Aula Student Centre UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jika menilik daftar hadir, acara ini
mendapat sambutan yang sangat antusias bukan saja dari civitas akademik
UIN Jakarta melainkan beberapa kampus dan masyarakat lainnya. Peserta
membludak mencapai empat ratusan, sehingga lebih dari separuhnya tidak
mendapat tempat duduk. Mereka terdiri dari mahasiswa, dosen, aktivis
serta pemuka Ormas membanjiri Aula Student Center UIN Jakarta, bahkan
sebelum acara tersebut dimulai.
Pada kesempatan yang dihadiri 300
mahasiswa UIN itu, penggagas JIL, Luthfi Asy Sakunie secara jujur
mengatakan bahwa gagasan pembaharuan Islam lewat jalan liberalisme
sepanjang ini masih jauh dari harapan. Munculnya gerakan-gerakan
“fundamentalisme” Islam, baginya, adalah bentuk kegagalan kelompok
seperti JIL.
Senada dengan Luthfi, Ioanes Rakhmat yang menjadi
pembicara saat itu, turut mengamini temuan Luthfi. Menurutnya,
berkembangnya perda-perda Syariat adalah bukti metode pembaharuan Islam
yang selama ini disuarakan kawan-kawan ‘Islam Liberal’ belum ada,
“Karena yang ada baru metode penafsiran teks,” katanya.
Meski
berlatar belakang Kristen, Ioanes menegaskan bahwa perjuangan membumikan
pemikiran liberalisme Islam tidak boleh surut. Usaha-usaha itu tetap
harus berjalan. Karena, baginya, hanya dengan itu Islam akan maju di
Indonesia.
Kehadiran KEMI ke UIN Jakarta tidak lepas dari peluncuran buku ‘Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia’.
UIN Jakarta yang dipilih karena dianggap sebagai embrio pembaharuan
pemikiran Islam di Indonesia. “Di sini ada Nurcholish Madjid dan Harun
Nasution yang berjasa membawa pembaharuan Islam di Indonesia,” papar
Neng.
Struktur KEMI sendiri diisi beberapa aktifis yang berperan
besar atas berdirinya Jaringan Islam Liberal yakni Ulil Abshar Abdalla
(Koordinator JIL) dan Luthfi Asysaukanie (Penggagas JIL). Selain dua
tokoh tersebut, ada juga nama-nama akademisi seperti Budy Munawar
Rachman dan Kautsar Azhari Noer.
“Pak Kautsar Azhari Noer adalah
salah satu inisiator berdirinya KEMI. Sedangkan tampuk Ketua KEMI
dipegang oleh Dawam Rahardjo,” tambah Neng, yang juga mengagumi tokoh
lesbi asal Kanada, Irshad Manji.
Sebelumya Dawam pernah
mengeluarkan statemen kontroversial. Ia mengatakan bahwa pindah agama
tidak bisa divonis murtad. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam
Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan gereja-gereja di Indonesia
yang berlangsung di Pekanbaru, Riau, Rabu 25 Januari 2006 sebagaimana
dikutip Suara Pembaruan.
Alumnus Universitas Gadjah Mada ini juga
terkenal sebagai tokoh pembela Ahmadiyyah. Pembelaan Dawam muncul dalam
bentuk pernyataannya di situs JIL ketika ia masih menjadi anggota
Pimpinan Pusat Muhammadiyyah.
Dia mengatakan, “Ahmadiyah sama
dengan kita.. Jadi kita tidak bisa menyalahkanatau membantah akidah
mereka, apapun akidah mereka itu. Kita menyangka akidah mereka
menyimpang. Misalnya, mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah
Nabi. Tapi kalau sudah menjadi kepercayaan mereka, mau apa? Itu ‘kan
soal kepercayaan. Itu ‘kan sama saja dengan kita percaya pada Nabi
Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
Akibat
pandangan-pandangannya yang pro terhadap Ahmadiyyah, alumnus Universitas
Gadjah Mada ini akhirnya dipecat dari kepengurusan PP Muhammadiyyah.
Selanjutnya, entah masih terkait atau tidak, nama KEMI mengingatkan
masyarakat terhadap Novel karangan Adian Husaini yang berjudul sama,
yakni Kemi. Novel tersebut menceritakan seorang santri bernama Kemi yang
menjadi penyokong gagasan liberal.
JIL Hanya Pengasong
Saat
ditemui penulis, Cendikiawan Muslim, Adian Husaini terlihat tidak ingin
mengambil pusing atas kesamaan judul novelnya degan kelompok baru
gebrakan Ulil cs ini. “Saya tidak tahu programnya apa. Dan kenapa nama
itu sama dengan novel saya, entah sengaja atau tidak,” katanya.
Menanggapi
komentar aktivis KEMI, Luthfi Asysaukanie yang mengatakan bahwa
gagasan liberal telah gagal, Adian Husaini mengatakan hal itu adalah hal
wajar. Dari dulu, dosen pemikiran Islam di Universitas Ibnu Khaldun ini
mengatakan JIL hanyalah satu pengasong dari sekian pengasong lainnya.
Ada distributornya, ada produsennya. Jadi menurutnya untuk kelompok
selevel JIL tidak terlalu penting menjadi fokus perhatian. “JIL bisa
tutup tokonya, namun pengasong yang lain juga banyak,” tegasnya.
Meski
JIL relatif gagal, isu tentang liberalisme, kata Adian, belumlah habis.
“Selama budaya sekuler liberal masih dominan, tetap saja gagasan ini
menjadi tantangan bagi umat Islam,” tandasnya.
Sebab
ide sekuler-liberal sendiri didukung oleh kekuatan global, ia tidak
berdiri sendiri, bahkan diback-up oleh kekuatan besar. “Bahkan itu
menjadi pertaruhan peradaban Barat saat ini untuk menopang setiap
gerakan atau ide yang sesuai dengan corak dan misi
peradaban Barat sekarang ini,” pungkasnya.