Senin, 31 Desember 2012

Geliat Jaringan Islam Liberal Dari Waktu Ke Waktu (6)

Syahadat on the road -Keluarnya fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (Sepilis), pada tahun 2005 menjadi pukulan telak bagi Jaringan Islam Liberal (JIL). Eksistensi JIL lambat laun meredup pasca ulama di berbagai daerah ramai-ramai menyerang balik JIL. Bahkan pengamat Gerakan Yahhudi, Artawijaya menyatakan dana untuk JIL dari asing pun sempat dihentikan karena JIL dinilai gagal masuk ke dalam masjid-masjid untuk mengkampanyekan ide liberalisasi Islam.

Namun, dengan meredupnya JIL, bukan berarti gagasan liberalisme benar-benar mati. Tahun 2011, beberapa tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), memperkenalkan sebuah kelompok kajian baru di Jakarta. Mereka menamakan diri Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI). Embrio KEMI sendiri berkembang sejak pertengahan 2010 dan makin tersistematisasi mulai awal Januari 2011.

“KEMI ingin memunculkan spirit bahwa umat Islam bisa berkembang. Bahwa Islam percaya kepada kebebasan berfikir dan toleran terhadap agama lain,” tandas Neng Dara Afifah saat peluncuran KEMI di Aula Student Centre UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika menilik daftar hadir, acara ini mendapat sambutan yang sangat antusias bukan saja dari civitas akademik UIN Jakarta melainkan beberapa kampus dan masyarakat lainnya. Peserta membludak mencapai empat ratusan, sehingga lebih dari separuhnya tidak mendapat tempat duduk. Mereka terdiri dari mahasiswa, dosen, aktivis serta pemuka Ormas membanjiri Aula Student Center UIN Jakarta, bahkan sebelum acara tersebut dimulai.

Pada kesempatan yang dihadiri 300 mahasiswa UIN itu, penggagas JIL, Luthfi Asy Sakunie secara jujur mengatakan bahwa gagasan pembaharuan Islam lewat jalan liberalisme sepanjang ini masih jauh dari harapan. Munculnya gerakan-gerakan “fundamentalisme” Islam, baginya, adalah bentuk kegagalan kelompok seperti JIL.

Senada dengan Luthfi, Ioanes Rakhmat yang menjadi pembicara saat itu, turut mengamini temuan Luthfi. Menurutnya, berkembangnya perda-perda Syariat adalah bukti metode pembaharuan Islam yang selama ini disuarakan kawan-kawan ‘Islam Liberal’ belum ada, “Karena yang ada baru metode penafsiran teks,” katanya.

Meski berlatar belakang Kristen, Ioanes menegaskan bahwa perjuangan membumikan pemikiran liberalisme Islam tidak boleh surut. Usaha-usaha itu tetap harus berjalan. Karena, baginya, hanya dengan itu Islam akan maju di Indonesia.

Kehadiran KEMI ke UIN Jakarta tidak lepas dari peluncuran buku ‘Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia’. UIN Jakarta yang dipilih karena dianggap sebagai embrio pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. “Di sini ada Nurcholish Madjid dan Harun Nasution yang berjasa membawa pembaharuan Islam di Indonesia,” papar Neng.

Struktur KEMI sendiri diisi beberapa aktifis yang berperan besar atas berdirinya Jaringan Islam Liberal yakni Ulil Abshar Abdalla (Koordinator JIL) dan Luthfi Asysaukanie (Penggagas JIL). Selain dua tokoh tersebut, ada juga nama-nama akademisi seperti Budy Munawar Rachman dan Kautsar Azhari Noer.

“Pak Kautsar Azhari Noer adalah salah satu inisiator berdirinya KEMI. Sedangkan tampuk Ketua KEMI dipegang oleh Dawam Rahardjo,” tambah Neng, yang juga mengagumi tokoh lesbi asal Kanada, Irshad Manji.

Sebelumya Dawam pernah mengeluarkan statemen kontroversial. Ia mengatakan bahwa pindah agama tidak bisa divonis murtad. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan gereja-gereja di Indonesia yang berlangsung di Pekanbaru, Riau, Rabu 25 Januari 2006 sebagaimana dikutip Suara Pembaruan.

Alumnus Universitas Gadjah Mada ini juga terkenal sebagai tokoh pembela Ahmadiyyah. Pembelaan Dawam muncul dalam bentuk pernyataannya di situs JIL ketika ia masih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyyah.

Dia mengatakan, “Ahmadiyah sama dengan kita.. Jadi kita tidak bisa menyalahkanatau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu. Kita menyangka akidah mereka menyimpang. Misalnya, mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah menjadi kepercayaan mereka, mau apa? Itu ‘kan soal kepercayaan. Itu ‘kan sama saja dengan kita percaya pada Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”

Akibat pandangan-pandangannya yang pro terhadap Ahmadiyyah, alumnus Universitas Gadjah Mada ini akhirnya dipecat dari kepengurusan PP Muhammadiyyah. Selanjutnya, entah masih terkait atau tidak, nama KEMI mengingatkan masyarakat terhadap Novel karangan Adian Husaini yang berjudul sama, yakni Kemi. Novel tersebut menceritakan seorang santri bernama Kemi yang menjadi penyokong gagasan liberal.


JIL Hanya Pengasong
Saat ditemui penulis, Cendikiawan Muslim, Adian Husaini terlihat tidak ingin mengambil pusing atas kesamaan judul novelnya degan kelompok baru gebrakan Ulil cs ini. “Saya tidak tahu programnya apa. Dan kenapa nama itu sama dengan novel saya, entah sengaja atau tidak,” katanya.

Menanggapi komentar aktivis  KEMI, Luthfi Asysaukanie yang mengatakan bahwa gagasan liberal telah gagal, Adian Husaini mengatakan hal itu adalah hal wajar. Dari dulu, dosen pemikiran Islam di Universitas Ibnu Khaldun ini  mengatakan JIL hanyalah satu pengasong dari sekian pengasong lainnya. Ada distributornya, ada produsennya. Jadi menurutnya untuk kelompok selevel JIL tidak terlalu penting menjadi fokus perhatian. “JIL bisa tutup tokonya, namun pengasong yang lain juga banyak,” tegasnya.

Meski JIL relatif gagal, isu tentang liberalisme, kata Adian, belumlah habis. “Selama budaya sekuler liberal masih dominan, tetap saja gagasan ini menjadi tantangan bagi umat Islam,” tandasnya.
Sebab ide sekuler-liberal sendiri didukung oleh kekuatan global, ia tidak berdiri sendiri, bahkan diback-up oleh kekuatan besar. “Bahkan itu menjadi pertaruhan peradaban Barat saat ini untuk menopang setiap gerakan atau ide yang sesuai dengan corak dan misi peradaban Barat sekarang ini,” pungkasnya.




Jangan Lupa Komennya ya..!!! ^^