oleh : Muh. Nurfadli
Syahadat on the road - Kalo kita berfikir, kenapa orang
jatuh pada lubang yang sama?? Setelah seseorang melakukan perbuatan salah ia
pun akan menyadari kesalahannya (bagi yang melakukan evaluasi) namun tak lama
dari itu atau dalam kurun waktu tertentu, ia mengulangi salah yang serupa.
Perbuatan salah yang pada waktu sebelumnya pernah ia perbuat. Sama. Hanya cara
jatuhnya saja yang berbeda. Dan waktu yang berbeda. Mengapa hal ini terjadi?
Mungkin saja –saya pastikan- hal
pernah menimpa diri kita. Jika hal serupa sering terjadi pada diri kita, maka
berhati-hatilah. Karena itu bertanda diri kita terlalupenuh dengan sifat lalai.
Terkait sifat ini, Allah SWT telah memberi sebuat steatment. Hal ini di sindir
oleh Allah dengan bahasa yang tegas. Disebutkan “...Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al-A’raf : 179). Kenapa disebut
lalai? Karena “...mereka memiliki hati,
tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih
sesat lagi..” (Al-A’raf:179).
Dan bagaimanakah nasib
orang-orang yang lalai tersebut?? “Dan
sungguh, akan Kami isi neraka Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia...”
(Al-A’raf:179). Ending dari
orang-orang yang lalai adalah di Neraka Jahannam dan Allah menyebutkan nasib
tersebut pada awal kalimat. Itu berarti sebuah penegasan. Sebuah penegasan yang
selayaknya membuat kita berfikir ulang untuk akrab dengan sikap “lalai’
tersebut.
Maka tak dapat dipungkiri. Sifat
lalai ini mampu menyeret manusia kepada kedurhakaan yang lain atau ia akan
melanggengkan pelaksanaan kedurhakaan sebelumnya. Apabila kita terus memelihara
sifat ini, maka kita termasuk orang yang sesat dan bodoh. Bahkan lebih bodoh
dari binatang. Adakah kita ingin disamakan dengan binatang?? Saya fikir tidak
akan pernah ingin. Maka jangan pernah ragu dan bimbang untuk meninggalkan sifat
“lalai” dalam diri kita.
Setidaknya ada empat resep untuk
dapat menghilangkan sifat lalai dalam diri kita.
Sabar
Sabar di sini merupakan bentuk
bertahannya diri kita pada sebuah kondisi, dengan melakukan upaya-upaya yang
mendukung keberadaannya. Sabar dalam kondisi tidak bermaksyiat; adalah kita
bertahan dalam kondisi untuk tidak melakukan kemaksyiatan dengan melakukan
berbagai pengamalan aturan agama dalam setiap dimensi kehidupan. Kedudukan
sabar ini sangat krusial. Dengan sabarlah kita mampu bertahan lebih lama untuk
tidak mengulangi kesalahan serupa. Begitu krusialnya kesabaran kita untuk tidak
bermaksyiat pada Allah, ditekankan untuk ditambah dan dikuatkan. Allah SWT
berfirman “Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu...” (Ali Imran: 200).
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu bergantung
besarnya ujian. Apabila Allah Ta’ala mencintai suatu bangsa, maka Allah akan
menguji mereka. Sehingga siapa saja yang ridha (bersabar), maka Allah akan
merihoinya dan siapa saja yang murka (tidak mampu bersabar), maka Allah akan
memurkainya.” (HR. Tirmidzi).
Ujian kita adalah untuk bertahan
tidak mengulangi kesalahan yang sama. Maka pilihan untuk bersabar dalam kondisi
tersebut merupakan pilihan tepat, dan menguatkan kesabaran adalah solusi
konkrit untuk masalah kita. Tetaplah bersabar, hingga Allah pun ridha terhadap
kita.
Jujur
Kita harus jujur terhadap diri
sendiri. Hal ini terkait apakah aktivitas yang kita lakukan mengarah pada
kembalinya kita melakukan kesalahan yang sama. Terkadang kita mengetahui, apa
yang kita kerjakan adalah jalan untuk mengulangi kesalahan, tapi kita tak mau
jujur pada diri sendiri. Ini yang membuat kita selalu melakukan kesalahan yang
sama berkali-kali.
Untuk itu, sifat jujur (shodiq)
ini haruslah terpelihara dalam diri kita. Karena dalam sikap ini kita
membuktikan eksistensi iman yang bersemayam di qalbu kita. Allah Ta’ala
berfirman, “Tetapi jikalau mereka benar
(imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”
(muhammad: 21).
Berbuat jujur akan menghantarkan
kita pada kebaikan yang lain. Dengan demikian tidak ada waktu bagi kita untuk
mengulangi kesalahan yang sama. Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan
dan kebaikan itu membawa ke syurga. Seseorang akan selalu bertindak jujur
sehingga ia ditulis di sisi Allah
sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan
dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia
ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”
(HR. Bukhari, Muslim)
Cerdik
Yang dimaksud cerdik di sini
adalah kita mampu memilah-milah setiap perbuatan dan aktifitas kita setiap
hari. Perbuatan yang dapan menjerumuskan kita pada kesalahan yang sama henaknya
dijauhi an dihindari. Sedangkan perbuatan yang menghantarkan kepada kedekatan
kita pada Allah hendaknya kita jalankan, dan kita rutinkan.
Dari Abu Ya’la Syaddad bi Aus ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“orang yang cerdik adalah orang yang selalu menjaga dirinya dan beramal untuk
bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang kerdil yaitu orang yang hanya
mengikuti hawa nafsunya namun ia mengharap berbagai harapan kepada Allah.” (HR.
Tirmidzi)
Muroqobah
Terakhir adalah sikap muroqobah
kita. Yakni sikap kita yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. “Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.”
(Al-Fajr: 14). Hal ini merupakan aspek terpenting, dan merupakan rem ampuh
untuk menahan laju kita dalam bermaksyiat pada Allah. Dengan merasa diawasi oleh Allah kita akan
waspada terhadap semua tindakan kita. Sehingga perbuatan yang baik-baik sajalah
yang akan kita laksanakan, sedangkan perbuatan yang buruk-buruk akan kita jauhi
dan tinggalkan. Sikap inilah yang membuat para Shahabat Rasulullah menjadi
teladan dan ummat terbaik. Tidak lain adalah karena mereka memelihara sikap
muroqobah ini.
Dari Anas ra, ia
berkata: “Sesungguhnya kalian melakukan
perbuatan-perbuatan yang menurut pandangan kalian lebih kecil daripada rambut,
padahal pada masa Rasulullah SAW perbuatan-perbuatan semacam itu kami (para
sahabat) anggap termasuk dosa-dosa yang merusak agama.” (HR. Bukhari)
Wallahu’alam bishShowwab. Rabu, 26 Desember 2012.