Minggu, 30 Desember 2012

Penyebab Jatuh pada Lubang yang Sama

oleh : Muh. Nurfadli

Syahadat on the road - Kalo kita berfikir, kenapa orang jatuh pada lubang yang sama?? Setelah seseorang melakukan perbuatan salah ia pun akan menyadari kesalahannya (bagi yang melakukan evaluasi) namun tak lama dari itu atau dalam kurun waktu tertentu, ia mengulangi salah yang serupa. Perbuatan salah yang pada waktu sebelumnya pernah ia perbuat. Sama. Hanya cara jatuhnya saja yang berbeda. Dan waktu yang berbeda. Mengapa hal ini terjadi? 

Mungkin saja –saya pastikan- hal pernah menimpa diri kita. Jika hal serupa sering terjadi pada diri kita, maka berhati-hatilah. Karena itu bertanda diri kita terlalupenuh dengan sifat lalai. Terkait sifat ini, Allah SWT telah memberi sebuat steatment. Hal ini di sindir oleh Allah dengan bahasa yang tegas. Disebutkan “...Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al-A’raf : 179). Kenapa disebut lalai? Karena “...mereka memiliki hati, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi..” (Al-A’raf:179).

Dan bagaimanakah nasib orang-orang yang lalai tersebut?? “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia...” (Al-A’raf:179). Ending dari orang-orang yang lalai adalah di Neraka Jahannam dan Allah menyebutkan nasib tersebut pada awal kalimat. Itu berarti sebuah penegasan. Sebuah penegasan yang selayaknya membuat kita berfikir ulang untuk akrab dengan sikap “lalai’ tersebut.

Maka tak dapat dipungkiri. Sifat lalai ini mampu menyeret manusia kepada kedurhakaan yang lain atau ia akan melanggengkan pelaksanaan kedurhakaan sebelumnya. Apabila kita terus memelihara sifat ini, maka kita termasuk orang yang sesat dan bodoh. Bahkan lebih bodoh dari binatang. Adakah kita ingin disamakan dengan binatang?? Saya fikir tidak akan pernah ingin. Maka jangan pernah ragu dan bimbang untuk meninggalkan sifat “lalai” dalam diri kita. 

Setidaknya ada empat resep untuk dapat menghilangkan sifat lalai dalam diri kita.

Sabar
Sabar di sini merupakan bentuk bertahannya diri kita pada sebuah kondisi, dengan melakukan upaya-upaya yang mendukung keberadaannya. Sabar dalam kondisi tidak bermaksyiat; adalah kita bertahan dalam kondisi untuk tidak melakukan kemaksyiatan dengan melakukan berbagai pengamalan aturan agama dalam setiap dimensi kehidupan. Kedudukan sabar ini sangat krusial. Dengan sabarlah kita mampu bertahan lebih lama untuk tidak mengulangi kesalahan serupa. Begitu krusialnya kesabaran kita untuk tidak bermaksyiat pada Allah, ditekankan untuk ditambah dan dikuatkan. Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu...” (Ali Imran: 200).

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu bergantung besarnya ujian. Apabila Allah Ta’ala mencintai suatu bangsa, maka Allah akan menguji mereka. Sehingga siapa saja yang ridha (bersabar), maka Allah akan merihoinya dan siapa saja yang murka (tidak mampu bersabar), maka Allah akan memurkainya.” (HR. Tirmidzi).

Ujian kita adalah untuk bertahan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Maka pilihan untuk bersabar dalam kondisi tersebut merupakan pilihan tepat, dan menguatkan kesabaran adalah solusi konkrit untuk masalah kita. Tetaplah bersabar, hingga Allah pun ridha terhadap kita.

Jujur
Kita harus jujur terhadap diri sendiri. Hal ini terkait apakah aktivitas yang kita lakukan mengarah pada kembalinya kita melakukan kesalahan yang sama. Terkadang kita mengetahui, apa yang kita kerjakan adalah jalan untuk mengulangi kesalahan, tapi kita tak mau jujur pada diri sendiri. Ini yang membuat kita selalu melakukan kesalahan yang sama berkali-kali. 

Untuk itu, sifat jujur (shodiq) ini haruslah terpelihara dalam diri kita. Karena dalam sikap ini kita membuktikan eksistensi iman yang bersemayam di qalbu kita. Allah Ta’ala berfirman, “Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (muhammad: 21).

Berbuat jujur akan menghantarkan kita pada kebaikan yang lain. Dengan demikian tidak ada waktu bagi kita untuk mengulangi kesalahan yang sama. Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke syurga. Seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia ditulis  di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis  di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari, Muslim)

Cerdik
Yang dimaksud cerdik di sini adalah kita mampu memilah-milah setiap perbuatan dan aktifitas kita setiap hari. Perbuatan yang dapan menjerumuskan kita pada kesalahan yang sama henaknya dijauhi an dihindari. Sedangkan perbuatan yang menghantarkan kepada kedekatan kita pada Allah hendaknya kita jalankan, dan kita rutinkan.

Dari Abu Ya’la Syaddad bi Aus ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “orang yang cerdik adalah orang yang selalu menjaga dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang kerdil yaitu orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya namun ia mengharap berbagai harapan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Muroqobah
Terakhir adalah sikap muroqobah kita. Yakni sikap kita yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. “Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (Al-Fajr: 14). Hal ini merupakan aspek terpenting, dan merupakan rem ampuh untuk menahan laju kita dalam bermaksyiat pada Allah.  Dengan merasa diawasi oleh Allah kita akan waspada terhadap semua tindakan kita. Sehingga perbuatan yang baik-baik sajalah yang akan kita laksanakan, sedangkan perbuatan yang buruk-buruk akan kita jauhi dan tinggalkan. Sikap inilah yang membuat para Shahabat Rasulullah menjadi teladan dan ummat terbaik. Tidak lain adalah karena mereka memelihara sikap muroqobah ini.

Dari Anas ra, ia berkata: “Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan-perbuatan yang menurut pandangan kalian lebih kecil daripada rambut, padahal pada masa Rasulullah SAW perbuatan-perbuatan semacam itu kami (para sahabat) anggap termasuk dosa-dosa yang merusak agama.” (HR. Bukhari)

Wallahu’alam bishShowwab. Rabu, 26 Desember 2012.




Jangan Lupa Komennya ya..!!! ^^