Syahadat on the road - Liberalisme tidak akan subur tanpa ditopang kekuatan politik.
Tampaknya kalimat itu pas untuk menggambarkan perjalanan liberalisme
pemikiran Islam di Indonesia. Jika era Mukti Ali, Caknur, Harun
Nasution, kelompok ‘pembaharu’ dibackup oleh kekuatan orde baru. Maka
jejak sama ingin diikuti oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Ketika jalan
pemikiran dirasa gagal untuk masuk ke akar rumput, maka JIL berusaha
masuk ke lini politik.
Dalam launching Komunitas Epistemik
Muslim Indonesia (KEMI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 Desember
2011, Ulil meyakinkan khalayak bahwa sudah saatnya kelompok liberal
masuk ke wilayah politik praktis. Ketua DPP Partai Demokrat itu tampak
bersemangat dengan menguraikan perubahan politik Islam yang merayakan
euforia demokrasi di negara-negara Muslim,
“Saya mulai dari
Erdogan (Perdana Menteri Turki) yang partainya juga berafiliasi dengan
Ikhwanul Muslimin. Saat Erdogan berkunjung ke Mesir di bulan September,
ia mengatakan kepada bangsa Mesir, ‘Wahai bangsa Mesir, kalian harus
mengadopsi sekularisme di dalam tubuh Mesir,” tandasnya.
Ulil pun
meyakinkan kepada hadirin bahwa ekskalasi dunia Arab adalah fenomena
menarik. Betapa tidak, kata Ulil, partai yang bisa dibilang PKS-nya
Turki -Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)- memberi anjuran kepada
bangsa Mesir untuk mengadopsi sekularisme. Ulil juga mengutip pernyataan
Rashid Ghannoushi ketika ia memenangkan pemilu di Tunisia yang
mengatakan,
“Wahai bangsa Tunisia, jangan takut kepada partai
Islam, karena setelah menangnya Partai An-Nahdhah ini, kami tidak akan
melarang perempuan-perempuan yang berbikini di pantai. Pantai-pantai
yang di dalamnya banyak perempuan berbikini, tidak akan kami tutup. Dan
orang-orang atheis, orang-orang yang tidak beragama, tidak akan diusir
dari Tunisia.”
Tidak berbeda dengan Ulil, ketua Jurusan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ali Munhanif juga mengatakan
hal sama. Master studi agama dari Temple University, Philadelphia, USA
itu mengingatkan pentingnya keterlibatan politik bagi agen-agen
‘pembaru’ pemikiran Islam pada level kebijakan pemerintah manakala trend
negara yang mulai bersikap tidak netral terhadap hak dan kebebasan
individu mulai mengemuka.
Bagi Munhanif, ini adalah hal mendesak
untuk diperhatikan, mengingat banyaknya undang-undang bermuatan pasal
karet yang bisa dimanipulasi kalangan ‘radikal’ untuk menjustifikasi
tindakan anarki yang kerap dilakukan terhadap kalangan minoritas seperti
Ahmadiyah.
Tanpa melihat akar persoalan, Ali Munhanif pun
menuding perlakuan yang dialami jemaat Ahmadiyah, semisal kasus
Cikeusik, merupakan pelanggaran HAM yang justru seharusnya oleh
pemerintah diberikan perlindungan serius agar hak dan kebebasannya
terjamin. Namun yang terjadi, Ahmadiyah justru dikenakan pasal penodaan
agama. Hingga dengan kasus inipun Ali Munhanif menegaskan pentingnya
keterlibatan dalam dunia politik agar dapat mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
Fakta mengenai kebutuhan JIL akan politik praktis
bukan tidak mungkin akan mewarnai konstelasi politik Indonesia tahun
2014 nanti. Mengingat berbagai elemen jaringan liberalisme telah lengket
dengan basis masa partai. Seperti Ulil di Partai Demokrat maupun
Zuhairi Misrawi di Baitul Muslimin PDI Perjuangan. Dan, Luthfi
Asy-Syaukanie, pernah menyebut dengan jujur empat agenda utama lahirnya
Islam Liberal memang salah satunya adalah agenda politik di samping
agenda toleransi agama, emansipasi wanita, dan kebebasan berekpresi.
“Karena pembaharuan itu harus dilakukan lewat pemikiran dan juga aksi,”
kata Ulil.