Rabu, 02 Januari 2013

Geliat Jaringan Islam Liberal Dari Waktu Ke Waktu (7-Habis)

Syahadat on the road - Liberalisme tidak akan subur tanpa ditopang kekuatan politik. Tampaknya kalimat itu pas untuk menggambarkan perjalanan liberalisme pemikiran Islam di Indonesia. Jika era Mukti Ali, Caknur, Harun Nasution, kelompok ‘pembaharu’ dibackup oleh kekuatan orde baru. Maka jejak sama ingin diikuti oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Ketika jalan pemikiran dirasa gagal untuk masuk ke akar rumput, maka JIL berusaha masuk ke lini politik.

Dalam launching Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 Desember 2011, Ulil meyakinkan khalayak bahwa sudah saatnya kelompok liberal masuk ke wilayah politik praktis. Ketua DPP Partai Demokrat itu  tampak bersemangat dengan menguraikan perubahan politik Islam yang merayakan euforia demokrasi di negara-negara Muslim,

“Saya mulai dari Erdogan (Perdana Menteri Turki) yang partainya juga berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Saat Erdogan berkunjung ke Mesir di bulan September, ia mengatakan kepada bangsa Mesir, ‘Wahai bangsa Mesir, kalian harus mengadopsi sekularisme di dalam tubuh Mesir,” tandasnya.
Ulil pun meyakinkan kepada hadirin bahwa ekskalasi dunia Arab adalah fenomena menarik. Betapa tidak, kata Ulil, partai yang bisa dibilang PKS-nya Turki -Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)- memberi anjuran kepada bangsa Mesir untuk mengadopsi sekularisme. Ulil juga mengutip pernyataan Rashid Ghannoushi ketika ia memenangkan pemilu di Tunisia yang mengatakan,

“Wahai bangsa Tunisia, jangan takut kepada partai Islam, karena setelah menangnya Partai An-Nahdhah ini, kami tidak akan melarang perempuan-perempuan yang berbikini di pantai. Pantai-pantai yang di dalamnya banyak perempuan berbikini, tidak akan kami tutup. Dan orang-orang atheis, orang-orang yang tidak beragama, tidak akan diusir dari Tunisia.”

Tidak berbeda dengan Ulil, ketua Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ali Munhanif juga mengatakan hal sama. Master studi agama dari Temple University, Philadelphia, USA itu mengingatkan pentingnya keterlibatan politik bagi agen-agen ‘pembaru’ pemikiran Islam pada level kebijakan pemerintah manakala trend negara yang mulai bersikap tidak netral terhadap hak dan kebebasan individu mulai mengemuka.

Bagi Munhanif, ini adalah hal mendesak untuk diperhatikan, mengingat banyaknya undang-undang bermuatan pasal karet yang bisa dimanipulasi kalangan ‘radikal’ untuk menjustifikasi tindakan anarki yang kerap dilakukan terhadap kalangan minoritas seperti Ahmadiyah.

Tanpa melihat akar persoalan, Ali Munhanif pun menuding perlakuan yang dialami jemaat Ahmadiyah, semisal kasus Cikeusik, merupakan pelanggaran HAM yang justru seharusnya oleh pemerintah diberikan perlindungan serius agar hak dan kebebasannya terjamin. Namun yang terjadi, Ahmadiyah justru dikenakan pasal penodaan agama. Hingga dengan kasus inipun Ali Munhanif menegaskan pentingnya keterlibatan dalam dunia politik agar dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Fakta mengenai kebutuhan JIL akan politik praktis bukan tidak mungkin akan mewarnai konstelasi politik Indonesia tahun 2014 nanti. Mengingat berbagai elemen jaringan liberalisme telah lengket dengan basis masa partai. Seperti Ulil di Partai Demokrat maupun Zuhairi Misrawi di Baitul Muslimin PDI Perjuangan. Dan, Luthfi Asy-Syaukanie, pernah menyebut dengan jujur empat agenda utama lahirnya Islam Liberal memang salah satunya adalah agenda politik di samping  agenda toleransi agama, emansipasi wanita, dan kebebasan berekpresi. “Karena pembaharuan itu harus dilakukan lewat pemikiran dan juga aksi,” kata Ulil.




Jangan Lupa Komennya ya..!!! ^^