Syahadat on the road - Menurutku, program wisata tak
melulu harus dilakukan dengan pergi ke tempat-tempat rekreasi. Pantai,
pegunungan, air terjun, taman bermain,
dan sebagainya. Tapi wisata dapat kita lakukan dengan fleksibelitas terhadap
kebutuhan kita. Semua tergantung kebutuhan dan selera. Ada yang ingin berwisata
ke gunung, karena basic dan pengalaman ke gunungnya sedikit, jadilah ia
menyesal karena perjalanannya. Begitu juga dengan semuanya. Tergantung selera.
Dan salah satu, alternatif rihlah / wisata yang mungkin dapat menjadi penenang
jiwa dan penyegar fikiran adalah dengan ‘membaca buku’. Aneh memang, wisata kok
dengan membaca buku. Tidak sepenuhnya aneh, kalau kita mau mengambil beberapa
esensi rihlah itu sendiri. Saya namakan “Rihlah Tsaqofiyah”..^^
Sebuah tulisan menggelitiku.
Bukan tubuh tentunya. Tapi otak dan jiwaku. Pikiran dan hatiku. Tulisan itu
merupakan buah dari tulisan ulama yang sangat produktif di zamannya. Produktif
dalam menghasilkan karya-karya tulisan bermutu tinggi. Seorang ulama spesialis
terapi hati. Ibnu Rajab mengatakan “197 kitab”. Sedang Ibnu Katsir mengatakan,
“Sekitar 300 kitab kecil dan kitab besar.”. ulama itu bernama Abdurrahman bin
Ali bin Muhammad Al-Jauzi bin Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq atau
lebih kita kenal dengan nama Ibnu Al-Jauzi.
Kitab yang kubaca adalah kitab
Shaid Al-Khattir. Yusuf Ali Budaiwi -pentahqiq kitab ini ke dalam bahas
Indonesia- mengatakan, “Sebuah kitab yang berisikan kumpulan renungan yang
mnedalam, id yang unik dan lintasan yang brilian. Buku ini membicarakan
pengalaman pribadi pengarangnya (Ibnu Al-Jauzi), sudut pandangnya terhadap aam
semesta, kehidupan dan para pelakunya serta renungan-renungannya tentang
realita”.
Dan kali ini, saya membaca sebuah
judul “Tidak meremehkan dosa” yang ditulis oleh Ibnu Al-Jauzi dalam beberapa
paragrap. Bahasanya ringan, namun memiliki esensi yang luar biasa. Dengan kata
lain, dapat mengajak diri kita memahami segala perbuatan yang bisa
menjerumuskan pada perbuatan dosa. Dan yang tak kalah penting, sesuai dengan judulnya,
kita diajak untuk tidak meremehkan dosa, seberapapun kecilnya dosa itu.
Langsung saja saya nukilkan apa yang Ibnu Al-Jauzi tulis dalam kitabnya
tersebut.
“Banyak orang meremehkan beberapa dosa yang mereka anggap biasa, padahal ia isa merusaksendi-sendi agama. Contohnya adalah tindak mengembalikan sebuah buju yang dipinjam seorang pencari ilmu, sengaja masuk orang yang sedang makan it agar diajak makan, memakan makanan di tempat undangan tanpa diundang, membicarakan aib-aib musuh dan menikmatinya. Contoh lain dari dosa-dosa yang dianggap kecil; memandang wanita yang bukan mahrom, mengeluarkan fatwa agar tidak dianggap sebagai orang bodoh.Resiko paling ringan yang akan menimpa pelaku dosa-dosa seperti itu adalah ia akan turun dari kelompok orang-orang ungulan di tengah-tengah manusia dan lengser dari kelompok orang-orang terdekat di sisi Allah. Besar kemungkinan ia akan ditanya juga oleh lisan kebenaran, “Hai orang yang dipercaya dengan beban ringan lalu menghianatinya, bagaimana mungkin kamu mengharapkan ridha Tuhan dengan keteledoranmu itu?”Seorang ulama salaf menuturkan, “Dimasa lalu saya meremehkan halal-haramnya sesuap nasi yang saya makan. Makasaat berumur 40 tahun seperti sekarang, saya selalu mengalami kemunduran.”Dengarkanlah pnuturan orang yang sudah pernah mengalami secara langsung di atas! Waspadailah selalu pengawasan Allah! Pikirkanlah masak-masakresiko setiap perbuatan! Sadarilah keagungan Dzat yang melarang perbuatan dosa! Berhati-hatilah dalam menghadapi hembusan angin yang pelan dan bara api yang diabaikan, kerena sangat mungkin ia membakar seluruh negeri!”
Sebuah nasihat yang mampu membuat
sang petualang, berekreasi ke dalam hatinya. Menemukan berbagai kesalahan dan
kealpaan dalam diri. Berwisata ia di kedalaman relung jiwa, mengambil rongsokan
perusak makna hakiki untuk dekat kepada Tuhannya. Maka apalagi yang didapat
pada kondisi ini selain dari kenikmatan muhasabah dan perbaikan jiwa?