Syahadat on the road - Sejarah telah mencatat kontribusi besar para ilmuwan muslim dalam
memberikan pencerahan bagi peradaban dunia. Salah satu bukti yang dapat
ditelusuri dan tidak bisa dielakkan lagi adalah melimpahnya kitab-kitab ilmuwan
muslim dalam berbagai perpustakaan di titik-titik kekuasaan umat Islam seperti Baghdad, Kordoba, dan
Mesir.
Terdapat 38 perpustakaan di Baghdad
dan 70 di Kordoba. Perpustakaan Darul Hikmah yang didirikan di Baghdad oleh Khalifah
Harun ar-Rasyid (149-193 H) setidaknya mempunyai 100 ribu jilid buku dan 600
buah manuskrip. Saking banyaknya, diceritakan bahwa sungai Euphrat menjadi
hitam karena kitab-kitab itu dibakar saat Tentara Mongol menyerang Baghdad pada
656 H. Begitupula dengan Perpustakaan Kordoba yang dibangun pada masa al-Mushtansir
(350-366 H), tercatat memiliki 600.000 koleksi jilid buku dan katalognya
mencapai 44 buku.
Perpustakaan Sabor (383 H) di Baghdad yang didirikan oleh Sabor bin
Ardashir, seorang menteri Ibnu Buwaih, menyimpan 1.000 mushaf al-Qur’an dan
10.400 buku dalam berbagai bidang. Di Baghdad, terdapat seratus buah toko buku dan
jumlah ulama mencapai 8.000 orang. Perpustakaan Darul ‘Ilm di Mesir yang
berdiri pada masa dinasti Fatimiyyin juga sempat menjadi kebanggaan kaum
muslimin karena mempunyai koleksi kitab yang banyak dan langka, terdiri dari
berbagai tema studi, sekaligus dilengkapi dengan sarana penelitian bagi para
ilmuwan.
Jumlah ini bisa dikomparasi dengan Perpustakaan Katedral di Kensington
pada abad 9 M (3 H) yang hanya menyimpan 356 koleksi buku dan Perpustakaan di
Hamburg yang hanya menampung 96 buah buku saja. Bahkan, Perpustakaan Pusat
Prancis di masa Raja Sharl V (abad ke-8 H) baru mampu mengumpulkan lebih 900
jilid buku.
Dr. Daud Rasyid menyatakan dalam salah satu tulisannya, bahwa hal
inilah kiranya yang membuat Dr. Sigrid Hunke, seorang pakar dari Jerman,
sekitar tahun 1950-an menulis buku berjudul Allah
Sonne Uber Dem Abendland Unser Arabisches Erbe untuk mengakui eksistensi kaum
muslimin dalam hal budaya literasi. Begitupun dengan Annemarie Schimmel,
seorang orientalis yang karyanya sempat menjadi yang terbaik di Jerman, walaupun
mengundang reaksi negatif dari mereka yang sangat subjektif dan antipati terhadap
fakta sejarah umat Islam.
Namun hari-hari ini, dimulai sejak mundurnya peradaban Islam di
sekitar abad 13 M, kaum muslimin nampaknya berada dalam stagnasi budaya menulis
dan dominasi barat menggantikannya. Sekolah dan kampus-kampus, bahkan kampus
Islami sekalipun, serasa tidak lengkap bila tidak mencantumkan literatur asing
dalam pembelajarannya. Tidak terlalu bermasalah jika literatur yang diambil
adalah mengenai hal-hal yang bersifat eksakta dan saintifik. Masalahnya, ada
beberapa institusi Islami yang justeru mengambil sumber-sumber studi islami
dari Barat yang sudah dipenuhi deviasi dibandingkan mengambilnya dari khazanah turats (warisan klasik) para ilmuwan
muslim.
Ini membuktikan bahwa umat Islam bukan hanya kalah dalam persaingan
sains semata, bahkan nilai-nilai ideal dalam studi agamanya sendiri telah
disusupi oleh para orientalis, baik asing maupun pribumi. Ditambah lagi, umat
Islam belum mampu membangun kekuatan massif di ranah media massa, padahal dari situlah opini dan wacana
dibangun serta direkayasa oleh berbagai kepentingan.
Mengapa kemunduruan budaya menulis dalam umat ini bisa terjadi?
Penulis menganalisis beberapa faktor yang memicunya. Pertama, kaum muslimin memang “kekurangan bahan” untuk ditulis
akibat ketertinggalannya di bidang sains, teknologi, dan pemikiran. Hal ini
berbeda dengan zaman kejayaan dulu, yang dipenuhi pula dengan hasil riset ilmuwan
muslim dalam berbagai studi. Walhasil, beberapa dari kaum muslimin sekarang hanya
bisa menjadi legitimator atas kebenaran sains yang sesuai dengan kaidah al-Qur’an
dan sunnah, seperti yang dilakukan oleh Harun Yahya (tanpa mengurangi
penghormatan pada usahanya).
Kedua, belum terinternalisasinya budaya ilmiah sebagai salah satu
keluhuran ajaran Islam. Padahal, urgensi ini dijelaskan dalam firmanNya dan
hadits RasulNya. Bukankah “Allah
meninggikan derajat orang yang beriman dan memiliki ilmu?” Bukankah “seharusnya ada pula golongan yang mencari
ilmu saat segolongan yang lainnya berjihad?” Bukankah menuntut ilmu itu
wajib, dari buaian hingga liang lahat, bahkan jika harus sampai ke negeri Cina?
Atau berkaitan dengan menulis, bukankah “Allah
mengajarkan melalui qalam (pena)” dan berfirman pula, “Nun.. demi qalam dan apa yang mereka tulis” Juga terdapat hikmah
yang mengatakan, “ikatlah ilmu dengan menulisnya.”
Ketiga, kaum muslimin dijauhkan dengan sejarah kejayaannya, baik melalui
berbagai penyimpangan dan rekayasa, maupun ketidakmampuan menggalinya. Berapa
banyak di antara umat Islam yang mengetahui bahwa kejayaan peradaban Islam
pernah bertumpu pada ribuan ulama yang membukukan pemikirannya dalam ratusan
ribu bahkan mungkin jutaan kitab yang dikoleksi dalam ratusan perpustakaan
Islam yang juga dekat dengan masjid sebagai pusat aktivitas muslim?
Buku sejarah di sekolah dan kampus-kampus tidak pernah mengungkap
fakta-fakta di atas. Justru yang sering diangkat adalah masa Renaisans dengan tokoh-tokoh baratnya.
Padahal sebelum masa Renaisans, barat berada di masa kegelapan. Namun demikian,
sejarah Islam tetap saja dimarjinalkan dalam teks-teks pendidikan.
Hal tersebut menjadikan kaum muslimin kini terpotong dengan sejarah
kejayaannya dalam budaya literasi dan membuatnya semakin minder dalam kultur ilmiah. Ditambah lagi dengan sedikitnya para cendikiawan
muslim yang concern untuk menggali kembali
berbagai manuskrip yang ada.
Keempat, secara umum umat Islam sudah termakan dengan gaya hidup yang jauh dari budaya ilmiah,
termasuk menulis. Pun, bagi mereka yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk
sampai ke tingkat perguruan tinggi bahkan pascasarjana sekalipun.
Beberapa faktor di atas kiranya membuat kaum muslimin masih menjadi
konsumen di dunia literasi, dan belum mampu memproduksi khazanah literasi
sebagaimana dulu kitab-kitab ilmuwan muslim-lah yang menjadi referensi di
berbagai bidang studi. Namun demikian, kita patut bersyukur bahwa di Indonesia
buku-buku yang bertemakan Islam dan ditulis oleh kaum muslimin sudah banyak
diterbitkan. Dalam setiap pameran buku yang diadakan, pasti banyak terdapat
penerbit buku-buku islami. Bahkan, sudah terselenggara beberapa kali pameran
buku berskala nasional yang itu khusus bagi penerbit-penerbit islami.
Semoga kita tidak berhenti sampai di situ, dan
kita harap yang ditulis oleh cendikiawan muslim bukan sekedar wawasan diiniyah saja, melainkan juga wawasan kauniyah, yaitu sains dan teknologi.
Untuk itu, faktor-faktor penghambat yang telah diuraikan perlu segera
dibalikkan keadaannya.